Friday, March 27, 2015

ANALISIS MANAJEMEN KRISIS KASUS CELEBRITY BIG BROTHER 2007


Saya penasaran mengenai program Celebrity Big Brother yang ditayangkan oleh Channel 4 tersebut. Akhirnya saya browsing, dan mendapatkan jawaban bahwa Celebrity Big Brother merupakan sebuah reality show yang mengadaptasi program serupa bernama Big Brother di Belanda. Program ini dibentuk oleh produser John de Mol pada tahun 1997 dan ditayangkan di Channel 4. Program ini diikuti oleh beberapa kontestan selebriti, yang dikenal dengan sebutan housemates, yang dikarantina dari dunia luar dalam waktu yang telah ditentukan dan tinggal bersama dalam sebuah rumah. Setiap minggu, satu dari housemates dieliminasi dengan menggunakan vote dari public, housemates terakhir yang bertahan akan mendapatkan hadiah yang mana nantinya akan didonasikan ke lembaga sesuai pilihan mereka. 

Celebrity Big Brother tayang premier pada tahun 2001. Melihat kesuksesan program tersebut, produser setuju untuk melanjutkan, namun baru tayang pada tahun 2005-2006. Pada tahun 2007 terjadi kontroversi atas program ini, yakni dengan adanya perlakuan rasis yang diterima oleh Shilpa Shetty dari rekan housemates-nya. Tahun berikutnya program ini tidak tayang, namun kemudian tayang kembali pada tahun 2009-2010. Setelah itu, Channel 4 tidak lagi menayangkan program tersebut, hingga kemudian program ini ditarik oleh Channel 5 dan ditayangkan kembali pada tahun 2011 (diolah dari berbagai sumber).



Jenis isu yang terdapat pada kasus Celebrity Big Brother ini termasuk dalam isu universal. Menurut Kriyantono (2012, h. 158) isu universal memengaruhi banyak orang secara langsung, bersifat umum, dan berpotensi memengaruhi secara personal. Saya menggolongkan ke dalam isu universal karena isu yang muncul adalah masalah rasisme, dimana rasisme itu sendiri merupakan masalah global yang sangat sensitif karena dapat dengan mudah memicu kemarahan public. Sedangkan untuk jenis krisisnya, kasus ini termasuk dalam krisis malevolence, yaitu ada seseorang atau sekelompok orang yang ingin menjatuhkan organisasi (Kriyantono, 2012, h. 177). Di sini pihak yang menjatuhkan organisasi adalah kontestan Big Brother yang entah sengaja atau tidak melontarkan kalimat yang berbau rasisme, sehingga posisi organisasi atau perusahaan sendiri menjadi terancam karena hal itu.

Kasus Celebrity Big Brother ini terjadi lantaran karena pelecehan yang menjurus kepada rasisme yang diterima oleh Shilpa Shetty. Penyebab dari kasus tersebut adalah karena tiga orang housemates dalam rumah itu memanggil dia “orang India” karena sulit menyebutkan namanya. Keesokan harinya setelah episode tersebut tayang, Ofcom menerima 200 komplain atas rasisme tersebut. Namun Channel 4 tidak menggubris, karena jumlah penonton yang complain hanya 200 dari 8,2 juta penonton lainnya. Channel 4 mengatakan hal tersebut hanyalah “persaingan antar wanita”. Jumlah complain melonjak ketika Labour MP Keith Vaz, mengontak Channel 4 dan berkata bahwa perlakuan rasis itu tidak bisa diterima. Hal ini menarik perhatian dari kubu politik, perdana menteri Tony Blair setuju dengan perkataan Keith Vaz, selain itu sekretaris bidang kebudayaan, Tessa Jowell juga tidak setuju jika rasisme ditayangkan dalam sebuah acara entertainment.

Jika digambarkan dalam bagan, issue life cycle dari kasus ini nampak sebagai berikut.
 Gambar 1. Tahapan Isu (Regester & Larkin, dalam Kriyantono, 2012, h. 163)
 
Kasus tersebut mulai berkembang setelah Keith Vaz mengontak pihak Channel 4 dan komplain melonjak menjadi 8000 penonton. Ketika Gordon Brown melakukan kunjungan diplomatic ke India, insiden tersebut sudah menjalar menjadi masalah diplomatis bagi pemerintah Inggris. Hal tersebut disampaikan oleh Menlu India bahwa kontroversi tersebut memunculkan “public outrage”. Pada tahap ini, kasus sudah termasuk dalam tahap krisis. Public yang marah membakar gambar dari produser Channel 4 tersebut.

Perusahaan tidak merespon krisis dengan cepat. Hal ini ditandai dengan sepanjang peningkatan jumlah complai, Channel 4 masih saja menyangkal bahwa insiden tersebut bukan bentuk rasis, itu hanya masalah perbedaan budaya antar kontestan. Produser acara tersebut, Endemol, juga menampik tuduhan rasisme tersebut. Dalam tiga hari pernyataan tersebut malah menuai complain lebih banyak lagi, yakni hampir mencapai 20.000.

Perusahaan juga tidak melakukan tindakan yang memenuhi harapan public. Malahan ketua Channel 4, Luke Johnson, berdandan tidak formal ketika diundang dalam acara BBC Today. Ia juga menolak beberapa undangan penting yang mana undangan tersebut penting dihadiri jika ia mau mempertahankan program acara Big Brother tersebut. Ia malah mempertahankan stakeholder dengan cara memberikan pernyataan formal dari perusahaan, padahal ia sendiri tidak memiliki kopiannya.

Di hari yang sama, Kepala Utama Channel 4, Andy Duncan, menghadiri press conference dengan dandanan kasual. Di situ ia juga hanya membaca pernyataan pers baris demi baris, seakan-akan ia takut off script. Hari itu ditutup dengan mundurnya sponsor utama program tersebut, yakni Carphone Warehouse, karena performa dari Channel 4 sendiri semakin dirasa ganjil, tidak sesuai dengan ekspektasi sponsor.

Perusahaan tidak memiliki prinsip untuk memprioritaskan kepentingan public. Sampai-sampai pers nasional memberikan pernyataan yang mencengangkan bagi Channel 4, karena mereka dituduh terlalu defensive atas nama profit. Daily Epress menjuluki C4 mempertahankan “cash cow”, sedangkan Sun menjuluki mereka “National Disgrace”. The Times juga mengatakan bahwa Channel 4 malah melegalkan bullying untuk meningkatkan rating, dan mendaptkan profit dari situ. 

Akhirnya Shilpa Shetty memenangkan program tersebut dengan hasil voting 63%. Kepandaiannya dalam berbicara dan memuji dapat sedikit menghilangkan ketegangan yang terjadi dengan Channel 4, yang mana akhirnya program Big Brother tersebut menjadi bahan penyelidikan bagi Ofcom.

Jika ditanya apakah perusahaan menerapkan prinsip worst-case/possible scenario, jawabannya adalah tidak. Bahkan menurut penyelidikan Ofcom pada 24 Mei 2007, Channel 4 melanggar code of conduct selama penayangan program acara Big Brother tersebut. Ada tiga masalah utama yang disorot oleh Ofcom, yakni:
1.      Ucapan menghina atas masakan India Shetty
2.      Salah seorang kontestan menyuruh Shetty untuk pulang saja dengan berkata ‘f*** off home’
3.      Salah satu kontestan menganggap Shetty sebagai ‘Shilpa Poppadom’

Sanksi secara UU dikenakan pada Channel 4, mereka diharuskan untuk membuat broadcast statement atas temuan dari Ofcom tersebut dalam tiga kesempatan berbeda setiap kali pada permulaan acara Big Brother seri berikutnya. Channel 4 dan produser BigBro meminta maaf dan menerima peraturan Ofcom tersebut. Ketua Luke Johnson juga menyatakan bahwa sanksi yang diberikan oleh Ofcom sudah sesuai porsinya, dan kesalahan yang mereka lakukan bukan disertai unsur kesengajaan dan mereka tidak bertindak sembrono. Channel 4 juga mengumumkan kepada public bahwa mereka akan melakukan:
1.    Menunjuk seorang viewers’ editor dan mencanangkan program respon cepat jika ada complain lagi dalam acara tersebut.
2.  Memperkenalkan kebijakan baru yang menyatakan bahwa acara tersebut akan menindak keras kontestan yang melakukan tindakan atau bahasa yang sifatnya offensive.
3.    Menunjuk senior officer untuk memonitor perilaku kontestan dan memberi masukan kepada produser dalam urusan apapun.

Keith Vaz menyuruh Andy Duncan untuk meminta maaf kepada Shilpa Shetty. Komisi kesetaraan rasial mengatakan bahwa hal tersebut akan memperbaiki seri Big Brother berikutnya dan memastikan bahwa perilaku tercela tersebut tidak akan terulang kembali. Channel 4 juga akhirnya bertindak keras, dengan segera memulangkan kontestan yang kedapatan berperilaku rasis.

Pada tanggal 14 Juni, Channel 4 memberitahu bahwa keadaan ekonomi mereka sedang jatuh hingga 70% pada tahun 2006, apalagi setelah adanya kontroversi tersebut. dan butuh support ectra dari public untuk meringankan beban mereka yakni berupa bebas pajak dan akses bebas kepada digital broadcasting, namun keinginan itu tidak dikabulkan oleh Ofcom, dengan pertimbangan channel tersebut ditakutkan tidak bisa memenuhi kebutuhan public kedepannya.

Pada akhirnya, Channel 4 tidak akan melanjutkan acara tersebut di tahun 2008. Ketua program, Jullian Bellamy, mengatakan masalah rasisme tersebut bukan menjadi alasan tidak adanya selebriti yang mau ikut dalam program Big Brother, namun keputusan dihentikannya program tersebut adalah unutk mencari program baru lain yang lebih menarik.

Insiden rasisme yang terjadi dalam acara Celebrity Big Brother tersebut secara tidak langsung telah menjadi katalisator terhadap antipasti public dan ketidakpercyaan mereka terhadap industry broadcasting UK. Sejak Big Brother, channel-channel televisi UK lainnya mulai mengalami beberpa kontroversi serupa, yakni: phone-in competition scandals across all channels; the BBC’s misrepresentation of the Queen; Channel 4 broadcasting photographs of Princess Diana’s last moments; and allegations from police that Channel 4 had ‘distorted’ a programme on Islamic fundamentalism. 

Pihak Channel 4 sendiri tidak memiliki rencana komunikasi krisis, bahkan dalam memanajemen krisis pun langkah yang mereka ambil tidak tepat. Mereka lebih mementingkan citra perusahaan serta profit karena mungkin mereka takut bangkrut jika tidak dapat profit dari acara tersebut. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah memenuhi harapan public terlebih dahulu, citra akan mengikuti dengan sendirinya jika perusahaan telah melakukan upaya terbaiknya untuk memenuhi harapan public (Kriyantono, 2012).

Krisis ini pun sempat mengganggu hubungan diplomatic antara Inggris dan India. Seharusnya perusahaan harus bertindak cepat sejak dari munculnya isu pada di permulaan, bukan lantas membiarkannya berlarut-larut hingga menjadi kontroversi yang dapat mengganggu hubungan antar negara. Krisis meamng menyangkut kepentingan orang banyak, apalagi masalah sensitif seperti SARA, malah lebih potensial untuk dibawa ke ranah hukum. Pihak Channel 4 sendiri seharusnya segera meminta maaf atas insiden tersebut. Seharusnya mereka juga membuat tim crisis center untuk menangani hal ini dan memberikan statement-statement yang dapat memenuhi harapan public agar dapat meredam kemarahan public yang merasa dilecehkan. Upaya positif yang dilakukan Channel 4 terbilang terlambat, karena mereka baru membuat strategi manajemen krisis setelah mendapat teguran dari Ofcom. Jika mereka menerapkan hal itu dari awal, maka mungkin perusahaan mereka tidak akan bangkrut.

Sumber:

Kriyantono, R. (2012). Public Relations & Crisis Management. Jakarta: Prenada.
Regester, M. & Larkin, J. (2008). Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. London & Philadelphia: Kogan Page.

 

Sunday, March 22, 2015

ANALISIS MANAJEMEN KRISIS KASUS TYLENOL JOHNSON & JOHNSON


Pada bulan September 1982, salah satu produk dari Johnson & Johnson, yaitu Tylenol, telah menewaskan sebanyak tujuh korban di daerah Chicago. Tylenol yang menewaskan 7 korban tersebut ternyata telah terkontaminasi dengan sianida. Johnson & Johnson tidak mengetahui darimana sianida tersebut berasal, apakah dari orang dalam sendiri atau ada pihak luar yang iri kemudian melakukan sabotase dengan cara demikian. Kasus Tylenol ini yang jelas menjadi hantaman keras bagi perusahaan Johnson & Johnson, karena Tylenol ini telah merajai pasar obat analgesic sebanyak 35%, terhitung penjualan per tahun mencapai 450 juta USD, dan memberikan 15% profit dari keseluruhan produk Johnson & Johnson.

Krisis Tylenol ini bisa jadi termasuk dalam dua jenis krisis, yaitu krisis produk dan krisis malevolence. Saya mengkategorikan kasus ini sebagai krisis malevolence karena krisis ini disebabkan oleh adanya seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjatuhkan atau membahayakan organisasi (Kriyantono, 2012), dengan cara menyabotase produk Tylenol yang dicampur dengan sianida. Saya juga mengkategorikan kasus ini dalam krisis produk karena diakibatkan oleh adanya kesalahan produk (Kriyantono, 2012), yakni produk Tylenol yang terkontaminasi sianida sehingga menewaskan 7 korban.

Kasus Tylenol ini termasuk kasus yang tidak ada tanda-tanda awalnya. Krisis terjadi begitu saja tanpa peringatan, tanpa muncul isu atau prodomal. Dengan demikian, issue lifecycle dari kasus ini langsung merujuk pada tahap current stage, yakni ditandai dengan diberitakannya 3 korban tewas di daerah Chicago setelah mengonsumsi Tylenol terkontaminasi tersebut. Kemudian krisis ini melebar menjadi tahap critical stage setelah disiarkannya berita ke seluruh penjuru Amerika Serikat. Dari situ publik jadi berspekulasi bahwa 250 kematian dan penyakit yang tersebar di berbagai bagian Amerika Serikat diakibatkan oleh Tylenol yang terkontaminasi juga. Total kematian karena Tylenol ini berjumlah 7 orang, semuanya di daerah Chicago.

Mendengar hal tersebut, pimpinan dari Johnson & Johnson bertindak cepat dengan segera menarik seluruh produk Tylenol yang berjumlah hingga 8 juta tablet tersebut dari pasar di seluruh toko yang tersebar di Amerika Serikat. Setelah dilakukan uji laboratorium, ternyata dari sekian banyak tablet yang ditarik tersebut, hanya 75 tablet yang terkontaminasi sianida. Bayangkan saja berapa kerugian yang dialami oleh Johnson & Johnson. Namun, hal tersebut dikesampingkan karena bagi Johnson & Johnson, keselamatan public dan pelanggan adalah nomer satu.

Menurut saya, Johnson & Johnson sudah menerapkan prinsip worst case possible scenario atau penanganan atas kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hal ini dibuktikan oleh adanya credo yang dimiliki oleh perusahaan Johnson & Johnson, yang isinya memprioritaskan keselamatan dan kepentingan public, kemudian baru pekerja mereka, komunitas, dan stockholder. Mereka melakukan hal tersebut agar tidak ada lagi korban yang tewas akibat Tylenol yang terkontaminasi tersebut.

Perusahaan sempat kehilangan sedikit waktu saat sedang menarik berjuta-juta botol extra-strength Tylenol, sehingga ada beberapa produk yang sudah didistribusikan. Johnson & Johnson kemudian menghabiskan setengah juga USD untuk membuat peringatan kepada para dokter, rumah sakit, dan distributor atas kemungkinan bahaya obat terkontaminasi. Sebesar itulah dedikasi Johnson & Johnson demi keselamatan pengguna. Upaya seperti inilah yang benar dan harusnya diterapkan oleh PR berbagai perusahaan jika mengalami krisis yang sama. Seperti yang juga diungkapkan oleh Kriyantono (2012, h. 185), prioritaskan keselamatan dan kepentingan public. Penyebab krisis bisa dilakukan kemudian atau secara bersamaan.

Perusahaan juga menolak untuk meluncurkan kembali produk yang sama walaupun sudah diketahui bahwa obat tersebut aman dan pelaku yang melakukan kejahatan sudah berhasil ditangkap. Johnson & Johnson memutuskan untuk meluncurkan produk baru dengan kemasan anti rusak dengan memanfaatkan gerakan pemerintah AS bersama FDA yang mencanangkan program peningkatan keamanan obat-obatan. Biaya yang dikeluarkan perusahaan sangat besar untuk launching produk baru tersebut. Namun respon public terhadap produk tersebut positif, sehingga dalam lima bulan bisa mengembalikan 70% dari sepertiga saham dalam pasar besar tersebut. Peristiwa tersebut menjadi tanda masuknya perusahaan pada tahap dormant stage atau pasca krisis.

Johnson & Johnson termasuk perusahaan yang berhasil selamat menghadapi krisis terberat bagi semua perusahaan. Terbukti bahwa mereka mendapatkan Silver Anvil Award dari Public Relations Society Amerika atas keberhasilannya menghandle krisis tersebut. Kembalinya keadaan perusahaan Johnson & Johnson menjadi jaya kembali adalah karena keputusannya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Jika saja dulu mereka tidak menarik produk dari pasar, dan tetap memasarkan produk mungkin akhirnya tidak akan seperti sekarang, bahkan mungkin mereka akan bangkrut. Mereka akan lebih susah untuk bangkit karena tidak dipercaya oleh public.

Pada mulanya perusahaan Johnson & Johnson tidak memiliki rencana komunikasi krisis, hanya sedikit perusahaan yang memiliki anti-crisis plan pada masa itu. Namun langkah yang dilakukan oleh pihak Johnson & Johnson sudah tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Kriyantono (2012, h. 184), dalam menghadapi krisis tersebut upaya yang dilakukan oleh Johnson & Johnson adalah (a) segera membentuk tim khusus yang terdiri dari tujuh pimpinan tertinggi perusahaan termasuk Presiden PR. Tim ini menjadi suara perusahaan dan mempunyai satu juru bicara. (b) menerapkan komunikasi yang akurat dan terbuka. (c) menarik semua produk dari pasaran, memberhentikan produksi dan distribusi. (d) melakukan survey untuk mengetes kebenaran keracunan produk. (e) berkomunikasi dengan pihak terkait seperti pemerintah, LSM, BPOM, dan media. (f) meluncurkan produk baru yakni Tylenol Geleaps yang memiliki antiracun (tamper proof).

Sumber:
Kriyantono, R. (2012). Public Relations & Crisis Management. Jakarta: Prenada.
Regester, M. & Larkin, J. (2008). Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. London & Philadelphia: Kogan Page.


Sunday, March 15, 2015

ANALISIS MANAJEMEN KRISIS KASUS ARLA YANG DIBOIKOT OLEH NEGARA-NEGARA TIMUR TENGAH


Arla merupakan sebuah perusahaan asal Denmark yang memproduksi makanan olahan dari susu. Perusahaan ini bernasib nahas karena mereka terkena krisis yang disebabkan oleh oknum lain di luar perusahaan mereka. Arla sama sekali tidak ikut campur dalam isu penggambaran Nabi Muhammad yang dibuat oleh sebuah kantor media Jyllands-Posten yang juga merupakan salah satu media independen di Denmark. Namun orang-orang Muslim, terutama orang-orang daerah Timur Tengah marah akan hal itu, dan mereka memboikot segala macam produk yang berasal dari Denmark.

Sebenarnya mengapa krisis Arla ini bisa terjadi adalah disebabkan oleh pihak lain, yakni media independen Denmark “Jyllands-Posten” yang menggambarkan Nabi Muhammad dalam bentuk kartun editorial dalam koran tersebut. Hal tersebut merupakan hinaan bagi kaum muslim. Oleh karena itu, mereka memboikot produk yang berasal dari negara (Denmark) yang telah menghina Nabi mereka tersebut. Kebetulan Arla juga merupakan pabrik besar produk olahan susu yang berasal dari Denmark. Arla yang sama sekali tidak ikut campur dalam kasus tersebut malah terkena dampak negatif yang dapat dikatakan cukup parah.

Krisis yang terjadi pada perusahaan Arla tersebut termasuk dalam krisis konfrontasi, karena adanya relasi yang buruk antara organisasi Jylland-Posten dengan publik Arab Saudi yang berimbas pada penjualan produk Arla. Menurut Kriyantono (2012, h. 177), krisis konfrontasi terjadi ketika publik mengekspresikan kemarahannya (public outrage) karena ketidakpuasan operasional organisasi sehari-hari. Kemarahan publik bukan terhadap Arla, namun kepada Jylland-Posten. Sebenarnya Jyllands-Posten pun tidak ada maksud untuk merusak reputasi Arla, namun Arla secara tidak sengaja menjadi korban dari konflik tersebut.

Jika digambarkan dalam issue life cycle, masalah ini didahului dengan tahap origin, yakni peristiwa tentang kemunculan kartun Nabi Muhammad dalam koran Denmark, Jyllands-Posten pada 30 September 2005. Masalah ini kemudian cepat menyebar menjadi imminent stage, karena masalah agama merupakan masalah yang sensitif dan dengan mudah menyulut kemarahan publik. Hingga ada penyerangan yang dilakukan oleh kaum muslim kepada kedutaan besar Norwegia dan Denmark.

Ketika berita semakin santer diberitakan melalui media, saat itu perwakilan kaum muslim ingin bertemu dengan perdana menteri Denmark berkaitan dengan masalah publikasi gambar Nabi Muhammad tersebut, namun pemerintah Denmark malah menolak untuk bertemu, dengan alasan percuma saja karena pihaknya tidak bisa mempengaruhi media tersebut. Peristiwa tersebut membuat tahap isu masuk dalam fase critical stage, karena adanya public outrage yang keadaan emosionalnya tidak stabil dan bisa meledak sewaktu-waktu.

Akhirnya Arab Saudi, sebagai pangsa pasar terbesar dari Arla Denmark, memutuskan untuk memboikot segala macam produk yang berasal dari Denmark. Hal ini pasti sangat merugikan bagi Arla, karena pangsa pasarnya adalah negara-negara Timur Tengah, sedangkan mereka tidak lagi mempercayai produk mereka.
Arla sempat merespon dengan tindakan Arab Saudi tersebut dengan membuat iklan yang memuat permohonan maaf mereka atas kesalahpahaman yang telah terjadi. Namun cara tersebut tidak membantu. Arab Saudi tetap memboikot produk mereka.

Menurut perhitungan Arla, boikot yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah tersebut hampir menyebabkan kerugian total pada perusahaannya. “Kami terkena dampak atas permainan yang tidak kami ikuti”, begitu kata Arla. Empat puluh tahun usaha membangun bisnis di Timur Tengah lenyap hanya dalam lima hari. Pada bulan Januari, dua karyawan Arla mendapat serangan dari kaum Muslim, dan pada bulan Februari, kerugian Arla diperkirakan mencapai 1 juta euro per hari.

Tahap resolution terjadi ketika Arla mulai bangkit dari krisis, yaitu pada bulan Maret pihaknya melakukan remarketing. Namun sebelumnya Arla pernah berupaya untuk meredam krisis tersebut yaitu dilakukan pada bulan Januari, dengan cara membuat iklan full-page yang mengatakan bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kasus karikatur Nabi Muhammad tersebut dan juga berisi tentang bagaimana pandangan Denmark terhadap Islam yang sesungguhnya. Namun upaya tersebut tidak terlalu membuahkan hasil, karena cara tersebut merupakan one only process (Kriyantono, 2012) yang dilakukan oleh Arla.

Upaya manajemen krisis yang hanya dilakukan satu kali saja tidak akan berdampak besar bagi perusahaan. Pada saat itu Arla tidak menggunakan cara lain. Seharusnya Arla bisa saja menunjuk satu orang spokesperson dan kemudian memberikan informasi mengenai kejelasan kasus, dan memberitahukan pada publik bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kasus karikatur Nabi Mudhammad tersebut, namun tentunya cara yang dilakukan harus dengan pendekatan yang disesuaikan dengan psikologi publik. Saya pikir cara tersebut akan lebih efektif karena sifatnya yang on going, maksudnya upaya manajemen krisis berlangsung terus-menerus, tidak hanya satu kali saja dilakukan (Kriyantono, 2012).

Akhirnya Arla melakukan cara on going atau continous process tersebut sejak bulan Maret. Pihak Arla melakukan upaya remarketing produknya dengan membuat full-page advertisement pada 25 koran Arab. Selain itu pihak Arla juga melakukan CSR dengan cara peduli dengan kegiatan kemanusiaan yang dilakukan di daerah sekitar. Upaya on going tersebut pada akhirnya dapat mengembalikan posisi Arla walaupun tidak seratus persen, karena Arab Saudi tetap kokoh pada pendiriannya untuk tidak lagi menggunakan produk dari negara yang telah menjelekkan Nabi mereka.

Krisis datang dengan cara yang tidak diduga-duga. Maka dari itu, perusahaan sebaiknya mempersiapkan program anti krisis sedari awal agar ketika krisis terjadi, perusahaan sudah memiliki pedoman untuk bertindak dan krisis dapat segera terredam agar tidak semakin menimbulkan public outrage. Karena kesuksesan perusahaan ada di tangan publik.

Referensi:
Kriyantono, R. (2012). Public relations & crisis management. Jakarta: Prenada.
Regester & Larkin. (2008). Case study-issues management: Arla product boycott in the Middle East.

Sunday, March 8, 2015

WHY ISSUE POPS UP?

Berbicara mengenai isu, dalam hati kita pasti berpikir bagaimana isu tersebut bisa muncul? Faktor apa yang mempengaruhi kemunculan isu. Ternyata isu bisa muncul karna pengaruh publik. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Effect licensed by the society”, maksud dari kalimat tersebut adalah publik memiliki “kemampuan” untuk memberikan lisensi atas kesuksesan suatu perusahaan. Konsep “reputasi” yang dibangun oleh suatu perusahaan dapat diartikan bahwa perusahaan tersebut memiliki “legitimasi”. Metzler & Culbertson, Jeffers, Stone, and Terrell (dalam Kriyantono 2012, h. 215) menyatakan bahwa legitimasi merupakan hak organisasi atau perusahaan untuk eksis/hadir di tengah-tengah publik. Legitimasi tersebut harus diakui oleh publik dan berkembang dalam dua aspek, yakni  karakter dan kompetensi organisasi (Veil, dalam Kriyantono, 2012, h. 215). 

Jika sebuah perusahaan menjalankan operasionalnya secara efektif, itu disebut kompeten. Sedangkan karakter didapatkan jika publik merasa bahwa perusahaan tersebut memiliki program yang peduli dengan komunitas sosial (CSR). Maka dari itu, persepsi publik sangat penting dalam menunjang kompeten sebuah perusahaan, dan kompeten tersebut merupakan aspek dari model krisis reputasi yang menentukan tingkat reputasi perusahaan. Untuk mendapatkan reputasi positif, perusahaan harus memberikan kepuasan terhadap ekspektasi publik.

Untuk mendapatkan lisensi dari publik, maka PR harus mampu berpikir secara outside-in thinking, yaitu memadukan masukan dari luar dengan cara berpikir diri sendiri. Menerapkan outside-in thinking bukan perkara mudah, karena PR harus mencari tahu terlebih dahulu seperti apa keinginan publik terhadap perusahaan, monitoring persepsi publik terhadap perusahaan. Memadukan opini dari luar dengan cara berpikir pribadi pun membutuhkan waktu, karena PR harus mengkonstruksi kembali pikirannya. Apa yang sebelumnya dianggap benar oleh PR belum tentu akan sesuai dengan keinginan publik. Maka dari itu, PR harus menciptakan suatu jalan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, yakni perusahaan dan publik.

Jika perusahaan tidak mendapatkan lisensi dari publik, maka operasional dari perusahaan tersebut dianggap kurang baik dan mungkin gagal. Kegagalan tersebut dapat memunculkan isu. Isu muncul karena ada gap atau jurang pemisah. Nah, gap tersebut muncul karena ada perbedaan atau tidak ada sinkronisasi antara harapan publik dengan kebijakan atau operasional perusahaan. Ketika gap semakin lebar, disitulah isu muncul. Jika isu tersebut terus berlanjut, maka akan mempengaruhi operasional perusahaan di masa depan. Maka dari itu manajemen isu sangat penting dilakukan untuk mengurangi atau mendekatkan gap tersebut. Jika tidak akan berpotensi menimbulkan krisis (Kriyantono, 2012, h. 152).

Tahap isu (issue life cycle) ada 5 (Kriyantono, 2012, h. 159-161), yang pertama yakni tahap origin (potential stage), pada tahap ini, seseorang atau kelompok mengekspresikan perhatiannya pada isu dan memberikan opini. Dalam kasus Dow Corning yang lalu, tahap ini adalah ketika muncul isu bahwa silikon tersebut berbahaya bagi kesehatan wanita. Pada tahap ini, isu dapat berkembang jika tidak segera diatasi. Tahap ini adalah tahap yang paling menentukan apakah isu dimanajemen dengan baik atau tidak.

Tahap kedua yakni mediation dan amplification (imminent stage/emerging). Pada tahap ini isu mulai berkembang karena ada kelompok yang saling mendukung dan memberi perhatian pada isu tersebut. Tahap ini ditandai dengan tuntutan hukum seorang wanita terhadap pihak Dow Coning karena implan payudaranya cacat dan menimbulkan masalah kesehatan. Pada tahap ini isu mulai berkembang karena tidak ada penangan dari isu sebelumnya, dan Dow Corning malah tetap melanjutkan produksi implan tanpa diadakan tes untuk mengecek apakah benar implan tersebut berbahaya.

Tahap ketiga, yaitu tahap organization (current stage) Pada tahap ini publik mulai membentuk jaringan dan mengorganisasikan diri. Dilihat dari bersatunya kaum wanita untuk menuntut Dow Corning karena masalah yang sama. Akhirnya krisi pun berlanjut pada tahap keempat, yakni tahap critical stage. Tahap ini merupakan masa kritis dari sebuah perusahaan, ini ditandai dengan semakin memburuknya keadaan karena ribuan wanita menuntut Dow Corning. Media dan BPOM juga menyerang Dow Corning untuk mengulik lebih dalam perihal isu tersebut.

Akhirnya krisis tersebut mencapai tahap terakhir yaitu tahap resolusi (dormant stage) ketika mereka memutuskan untuk melakukan uji terhadap produk. Namun strategi manajemen krisis yang mereka lakukan salah karena Dow Corning hanya mengandalkan bukti uji lab dan tidak ada public statement lain untuk meredakan krisis. Mereka juga tidak memberikan keterbukaan informasi kepada media dan BPOM padahal mereka adalah publik yang sangat penting diperhatikan karena pengaruh mereka besar. Dow Corning terlambat menerapkan manajemen krisis yang benar. Sehingga pada akhirnya mereka menyatakan diri bangkrut dalam bisnis implan tersebut.

Referensi:
LaPlant, K. (1999). The Dow Corning crisis: A benchmark. Public Relations Quarterly;       Summer 1999; 44, 2; Academic Research Library, pg. 32-33.
Kriyantono, R. (2012). Measuring a company reputation in a crisis situation: an ethnography approach on the situational crisis communication theory. International Journal of Business and Social Science. Vol.(3) 9, h. 214—223.
____________ . (2012). Public relations and crisis management. Jakarta: Prenada.

Analisis Manajemen Krisis Kasus Bowater Incorporated

Bowater Incorporated merupakan sebuah pabrik kertas besar asal Inggris yang sudah berdiri sejak awal 1900-an. Bagian selatan dari Bowater, atau disebut Bowater South, merupakan pabrik khusus pembuatan kertas koran yang terletak di Calhoun, Tenn. Sebelum terjadi krisis, perusahaan ini sudah memiliki reputasi yang sangat baik di mata publik selama 36 tahun. Namun nasib dari perusahaan tersebut diambang kehancuran ketika terjadi sebuah krisis pada tahun 1990, yakni kecelakaan beruntun yang disebabkan oleh kabut tebal di sekitar area pabrik Bowater South.

Menurut saya krisis yang dialami oleh Bowater tersebut adalah krisis bencana alam. Menurut Kriyantono (2012, h. 178) bencana alam juga dapat menimbulkan krisis yang dapat memengaruhi aktivitas organisasi. Penyebab dari krisis adalah kabut yang mungkin disebabkan oleh lebatnya pohon-pohon sebagai bahan utama pembuat kertas. Pohon-pohon tersebut menyebabkan kabut tebal datang setiap pagi dan membuat jarak pandang pengendara mobil tidak jelas. Krisis bencana alam merupakan krisis yang berpotensi merusak reputasi dan peristiwanya tidak dapat diduga.

Sebelum kecelakaan maut tersebut terjadi, sebenarnya isu telah terlebih dulu muncul, yakni isu bahwa Bowater South merupakan penyebab dari munculnya kabut yang selalu menyelimuti daerah Calhoun. Isu ini dibenarkan oleh Dr. Wayne Davis, insinyur sipil dari departemen transportasi universitas Tennessee yang membuat penelitian tentang penyebab kabut di area Calhoun. Studi mengatakan bahwa memang benar Bowater South merupakan sumber utama penyebab kabut tebal tersebut. Namun isu ini diabaikan oleh pihak Bowater South. Tidak ada manajemen isu yang dilakukan oleh mereka. Manajemen isu penting dilakukan agar isu tidak merambat menjadi krisis. Manajemen isu bisa dilakukan dengan cara identifikasi isu, analisis isu yang ada, merumuskan program peredam isu, mengintegrasikan komponen dalam perusahaan untuk meredam isu, dan evaluasi program manajemen isu (Kriyantono, 2012, h. 165-168).

Sampai pada akhirnya terjadilah kecelakaan maut yang membuat perusahaan Bowater mengalami krisis yang potensial merusak reputasinya yang sudah 36 tahun dibangun dengan susah payah. Kecelakaan disebabkan oleh tebalnya kabut di daerah Calhoun, dan ketika itu ada pengendara mobil Cadillac, yang berjalan 65 mil per jam, menyerempet traktor bermuatan peralatan bor berisi bahan-bahan kimia berbahaya. Alat bor berisi dycamil peroxide tersebut menggelinding dan meledak. Ledakan tersebut menimbulkan bola api, asap dan gas berbahaya.

Kecelakaan tersebut menimbulkan tabrakan beruntun, karena mobil-mobil di belakang Cadillac tersebut pun juga menjadi korban akibat asap dari ledakan alat bor berisi gas berbahaya tersebut membuat pandangan kaca depan mobil menjadi putih tidak terlihat apapun. Kecelakaan ini mengakibatkan 99 mobil rusak, 12 orang tewas dan 50 orang luka-luka. Ini merupakan kecelakaan terburuk yang pernah terjadi di Tennessee. Tentu saja menjadi krisis terburuk bagi Bowater South karena mereka merasa perusahaannya lah yang menjadi sumber malapetaka kecelakaan maut itu terjadi.

Astrid Sheil, manajer public affair yang baru bekerja dua bulan dalam perusahaan tersebut mengambil langkan yang menurut saya sudah tepat. Ia melakukan manajemen krisis yakni dengan cara membuat press conference segera setelah kecelakaan terjadi. Sheil menjadi spokesperson utama dari Bowater South dalam memberikan informasi kepada media dan publik.

Setelah melakukan press conference, Sheil melakukan investigasi lebih jauh. Ia menjawab semua telepon masuk yang berasal dari reporter, bahkan hingga ke London. Ia juga membuat pesan suara yang akan bermanfaat bagi media sehingga dapat didengarkan berulang-ulang. Ia menjawab semua pertanyaan wartawan dengan konsisten dan akurat, serta mengungkap kebohongan dengan fakta-fakta. Ia juga mengirimkan surat kepada karyawan Bowater South untuk menginformasikan perihal keadaan yang terjadi, menenangkan mereka, dan tetap mendapatkan kepercayaan dari para karyawan dan ambassador.
Hari berikutnya, Bowater menyewa PR professional dari kantor New York untuk menjadi pihak ketiga yang dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan lebih terutama untuk markas besar Bowater. Semua ini dilakukan Sheil dalam waktu 3 hari setelah kecelakaan terjadi.

Menurut saya apa yang dilakukan oleh Sheil, yaitu strategi memberikan keterbukaan informasi kepada media dalam rentang waktu yang cepat tersebut sudah tepat dalam memanajemen krisis. Sebagai PR, kita dituntut untuk berpikir cerdas dan cepat dalam mengambil keputusan dengan tepat, apalagi untuk menyelamatkan reputasi perusahaan. Upaya yang dilakukan Sheil sudah memenuhi kaidah penting strategi manajemen krisis menurut Kriyantono (2012, h. 185), yakni mengupayakan satu suara melalui crisis center dengan satu juru bicara, menjalin komunikasi dan kerjasama dengan publik terkait seperti media misalnya, dan menghindari upaya menyalahkan pihak lain.

Namun Bowater juga melakukan kesalahan dalam menangani krisis tersebut, yaitu ketika korban menuntut perusahaan secara hukum, Sheil sebagai PR malah diam tanpa komentar apapun, karena disuruh oleh pengacaranya untuk tidak memberikan keterangan apapun tanpa ada perintah dari pengadilan langsung.
Keadaan semakin buruk ketika ternyata pengacara Bowater South tersebut membocorkan kepada media bahwa sesungguhnya dulu perusahaan tersebut pernah dituntut sampai ke pengadilan juga gara-gara masalah kabut pada tahun 1980, namun mereka memenangkan kasusnya.

Kegagalan manajemen krisis lainnya adalah masalah komunikasi internal perusahaan. Bowater South tidak berkoordinasi dengan cabang pabrik lain dan juga markas besar, sehingga mereka juga diselidik terkait krisis tersebut namun mereka tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi. Kesalahan lain dari strategi Sheil adalah ia kurang perhatian terhadap para korban yang telah tewas dalam insiden tersebut karena terlalu sibuk meredakan krisis yang terjadi.

Dalam kasus ini, Sheil tidak menerapkan poin penting manajemen krisis yakni perlunya perencanaan krisis dan meletakkan prioritas utama pada keselamatan dan kepentingan publik. Bowater South tidak memiliki program antikrisis untuk mencegah munculnya krisis tersebut, dan juga Sheil sebagai public affair kurang memberikan perhatian kepada keluarga korban yang ditinggalkan dalam kecelakaan tersebut.

Hal yang dapat kita pelajari dari kasus Bowater ini adalah bahwa PR harus senantiasa mempersiapkan rencana untuk menghadapi keadaan terburuk yang mungkin akan terjadi di masa depan. PR harus memiliki program antikrisis dan manajemen isu yang baik, agar ketika isu itu muncul dan melebar menjadi krisis, pihak perusahaan siap dengan apapun yang akan terjadi karena sudah memiliki acuan dalam bertindak.

Perusahaan pun sebaiknya tidak hanya mementingkan kepentingan perusahaannya saja, namun juga harus membina hubungan baik dengan publik, minimal di area sekitar perusahaan. Caranya bisa saja membuat program CSR, melibatkan komunitas dalam kegiatan perusahaan seperti membuat event-event tertentu misalnya, agar ketika mereka mengalami krisis, publik tidak langsung menganggap mereka negatif dan akan mempertimbangkan hal-hal positif yang pernah dilakukan oleh perusahaan, hal itu bisa meredam krisis dengan relative cepat.

Referensi:
Kriyantono, R. (2012). Publik relations & crisis management. Jakarta: Prenada.
Maggart, L. (1994). Bowater Incorporated - A lesson in crisis communications. Publik Relations Quarterly; Fall 1994; 39, 3; Academic Research Library, pg. 29-31.