Aku benci laba-laba. Itu disebut arachnophobia dalam bahasa latin. Ketakutanku akan laba-laba sudah
terbentuk sejak aku masih duduk di bangku TK. Salah satu orang dewasa—yang
sekarang aku lupa nama dan wajahnya—pernah menakut-nakutiku.
Waktu itu aku melihat laba-laba berukuran kurang lebih
setelapak tangan orang dewasa. Laba-laba itu sedang mengintai dari bawah lemari
kayu di lantai dua rumahku yang lama—sekarang rumah berlantai dua itu dijual
kepada teman papaku, dan kami membangun rumah yang lebih besar namun tidak
bertingkat. Aku terus mengawasi laba-laba itu, dan begitu pula sebaliknya.
Sepertinya laba-laba itu merasa terancam dan ingin mencari tempat perlindungan
yang lebih aman karena terus-terusan aku pelototi.
Waktu itu aku memang tidak takut dengan laba-laba, atau
belum lebih tepatnya. Sedetik kemudian, ketakutanku terbentuk. Orang dewasa itu
berteriak ngeri dengan maksud menakut-nakuti ketika laba-laba itu mulai merayap
cepat dengan delapan kakinya yang kurus, hitam, dan panjang ke arahku. Aku
terlonjak kaget dan merasa ngeri, jijik, dan sekaligus kesal setengah mati pada
orang dewasa yang sudah menakut-nakuti tersebut. Aku pun menangis kencang.
Sejak saat itu, aku takut dengan makhluk yang bernama
laba-laba.
Aku juga pernah menjumpai pajangan dinding berbentuk
laba-laba yang sangat besar di sebuah warung padang dekat rumahku. Waktu
pertama kali melihat, bulu kudukku meremang. Badanku gemetar, tapi mataku malah
terus memelototinya. Penasaran pajangan tersebut terbuat dari apa. Aku bergidik
ngeri ketika pikiran liarku mengasumsikan bahwa pajangan tersebut berasal dari
hewan yang diawetkan. Bayangkan saja jika laba-laba berukuran sebesar tampah,
berwarna hitam, tiga dimensi, yang kaki-kakinya sedang menekuk itu hidup,
merayap di dinding kamarmu. Hiiii… ngeri!
Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh si pemilik
warung ketika memutuskan menaruh hewan mengerikan tersebut sebagai pajangan
dinding, tepat di atas meja pelanggan. Di sebelah pajangan laba-laba tersebut
aku juga melihat pajangan yang berukuran sama namun berbentuk kalajengking.
Sungguh selera makanku telah seketika hilang dari detik pertama melangkahkan
kaki dalam warung tersebut. Aku berpura-pura kepada pelayan bahwa lauk yang aku
inginkan tidak ada di pilihan menu yang tersedia. Setelah mengucapkan “maaf
mbak, nggak jadi” aku melesat keluar sambil bergidik. Bersumpah tidak akan
pernah kembali lagi ke warung tersebut. Mungkin menurutmu berlebihan, tapi
memang sebesar itulah ketakutanku terhadap laba-laba.
Pernah pula pada suatu malam aku bermimpi tentang laba-laba.
Sungguh aku sesak napas ketika terbangun dari mimpi itu. Mimpiku berlatar
tempat warung padang yang aku ceritakan sebelumnya—menyebalkan sekali sampai
terbawa mimpi. Aku bersama kakak laki-lakiku sedang memesan nasi padang komplit.
Ketika menunggu pelayan datang membawa pesanan kami, entah darimana asalnya
kakakku memegang seekor laba-laba hitam, berkaki gendut,dan berbulu—tarantula—di tangannya, dan mulai
menakut-nakuti dengan mendekatkan laba-laba itu ke wajahku. Aku ingin berteriak
namun tidak bisa. Sesaat aku sadar bahwa itu hanya mimpi. Aku membuang napas
dengan tersengal-sengal seperti orang habis lari. Rasanya mirip seperti mimpi
dikejar setan, ketika kau ingin berteriak tapi tak bisa. Sebesar itulah
ketakutanku akan laba-laba.