Friday, February 20, 2015

Aku Benci Laba-laba


Aku benci laba-laba. Itu disebut arachnophobia dalam bahasa latin. Ketakutanku akan laba-laba sudah terbentuk sejak aku masih duduk di bangku TK. Salah satu orang dewasa—yang sekarang aku lupa nama dan wajahnya—pernah menakut-nakutiku.

Waktu itu aku melihat laba-laba berukuran kurang lebih setelapak tangan orang dewasa. Laba-laba itu sedang mengintai dari bawah lemari kayu di lantai dua rumahku yang lama—sekarang rumah berlantai dua itu dijual kepada teman papaku, dan kami membangun rumah yang lebih besar namun tidak bertingkat. Aku terus mengawasi laba-laba itu, dan begitu pula sebaliknya. Sepertinya laba-laba itu merasa terancam dan ingin mencari tempat perlindungan yang lebih aman karena terus-terusan aku pelototi.

Waktu itu aku memang tidak takut dengan laba-laba, atau belum lebih tepatnya. Sedetik kemudian, ketakutanku terbentuk. Orang dewasa itu berteriak ngeri dengan maksud menakut-nakuti ketika laba-laba itu mulai merayap cepat dengan delapan kakinya yang kurus, hitam, dan panjang ke arahku. Aku terlonjak kaget dan merasa ngeri, jijik, dan sekaligus kesal setengah mati pada orang dewasa yang sudah menakut-nakuti tersebut. Aku pun menangis kencang.

Sejak saat itu, aku takut dengan makhluk yang bernama laba-laba.

Aku juga pernah menjumpai pajangan dinding berbentuk laba-laba yang sangat besar di sebuah warung padang dekat rumahku. Waktu pertama kali melihat, bulu kudukku meremang. Badanku gemetar, tapi mataku malah terus memelototinya. Penasaran pajangan tersebut terbuat dari apa. Aku bergidik ngeri ketika pikiran liarku mengasumsikan bahwa pajangan tersebut berasal dari hewan yang diawetkan. Bayangkan saja jika laba-laba berukuran sebesar tampah, berwarna hitam, tiga dimensi, yang kaki-kakinya sedang menekuk itu hidup, merayap di dinding kamarmu. Hiiii… ngeri!

Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan oleh si pemilik warung ketika memutuskan menaruh hewan mengerikan tersebut sebagai pajangan dinding, tepat di atas meja pelanggan. Di sebelah pajangan laba-laba tersebut aku juga melihat pajangan yang berukuran sama namun berbentuk kalajengking. Sungguh selera makanku telah seketika hilang dari detik pertama melangkahkan kaki dalam warung tersebut. Aku berpura-pura kepada pelayan bahwa lauk yang aku inginkan tidak ada di pilihan menu yang tersedia. Setelah mengucapkan “maaf mbak, nggak jadi” aku melesat keluar sambil bergidik. Bersumpah tidak akan pernah kembali lagi ke warung tersebut. Mungkin menurutmu berlebihan, tapi memang sebesar itulah ketakutanku terhadap laba-laba.

Pernah pula pada suatu malam aku bermimpi tentang laba-laba. Sungguh aku sesak napas ketika terbangun dari mimpi itu. Mimpiku berlatar tempat warung padang yang aku ceritakan sebelumnya—menyebalkan sekali sampai terbawa mimpi. Aku bersama kakak laki-lakiku sedang memesan nasi padang komplit. Ketika menunggu pelayan datang membawa pesanan kami, entah darimana asalnya kakakku memegang seekor laba-laba hitam, berkaki gendut,dan  berbulu—tarantula—di tangannya, dan mulai menakut-nakuti dengan mendekatkan laba-laba itu ke wajahku. Aku ingin berteriak namun tidak bisa. Sesaat aku sadar bahwa itu hanya mimpi. Aku membuang napas dengan tersengal-sengal seperti orang habis lari. Rasanya mirip seperti mimpi dikejar setan, ketika kau ingin berteriak tapi tak bisa. Sebesar itulah ketakutanku akan laba-laba.

Tuesday, February 3, 2015

Ini Aku, Zakiya


Aku baru saja selesai melaksanakan rutinitas malamku, mencuci piring. Sewaktu cuci piring tadi, pikiranku telah menciptakan satu scene cerita sarat khayalan. Aku pernah membaca blog milik temanku dan aku sangat terkesan dengan segala hal yang ditulisnya. Kupikir aku juga ingin menulis. Menuangkannya dalam blog pasti akan seru, pikirku. Khayalan dalam kepalaku akan memiliki ruang sendiri, dan bebas.

Sebelumnya aku memang sudah punya blog, tapi jarang aktif karena blog itu bagian dari tugas kuliah. Tapi aku ingin memulainya lagi.

Malam ini, aku akan memulainya dengan sedikit mendeskripsikan diriku kepadamu, pembaca yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca tulisan-tulisanku.

Aku tipe orang melankolis.

Jujur saja, aku tidak banyak bicara dengan orang lain. Aku lebih suka diam, sendiri, merenung. Namun dalam diamku selalu ada dialog yang tak terucapkan di kepala. Ada khayalan-khayalan yang sepertinya bagus jika disusun menjadi cerita, apalagi diwujudkan dalam dunia nyata.
Dibalik diam itu, aku tetap seperti melankolis pada umumnya yang tipe pemikir, sensitif, romantis, teratur, dan bisa dibilang punya rasa empati yang tinggi. Aku berani menyebut diriku sebagai pendengar yang baik, karena memang begitulah kenyataannya.


Ketika aku tidak banyak bicara, aku menulis.

Menulis memberikan waktu untukku berpikir kata apa yang akan aku tuangkan dalam tulisanku. Bagaimana kalimat-kalimatku dapat mewakilkan apa yang ada dalam kepalaku. Bukannya anti sosial, tapi aku tidak suka berbicara panjang lebar jika aku sendiri tidak tahu apa yang sedang kubicarakan. Aku hanya akan berbicara panjang jika sedang dalam keadaan nyaman. Bersama dengan orang yang aku merasa nyaman dekat dengannya juga pastinya.

Aku pernah berpikir aku salah jurusan.

Sejak awal aku merasa salah jurusan. Namun aku tidak ingin pindah jurusan dengan alasan nanti orangtuaku harus membayar uang gedung lagi—yang jumlahnya tidak sedikit itu—jika aku pindah jurusan, di samping itu aku juga menantang diriku untuk melakukan sesuatu di luar zona nyaman, dan sampai saat ini terbukti aku tetap bertahan dalam perkuliahanku. Semoga semua berjalan lancar hingga aku lulus. Amin.

Aku hanya ingin menulis tentang ini malam ini. Jika kau ingin mengetahui bagaimana diriku lebih jauh, tunggulah. Aku akan menuliskannya di lain hari. Tidak malam ini. Karena pikirku itu tidak akan seru, dan membuat bosan.

Selamat malam :)

Sunday, February 1, 2015

Today

I see my dad
Sits on the couch
Grabs his bag tightly
He seems about to cry

I see my mom
Sits on the edge of the bed
Stares at her cellphone
She seems about to cry

I see my sister
Sits on a chair
Reads her textbook
She seems about to cry

I see myself
Stand before the mirror
Looking at my own reflection
I am about to cry

But the tears ain't falling.
No.
Not today.