Krisis yang dialami
oleh perusahaan implan Dow Corning ini diawali dengan santernya isu kesehatan
dan keamanan publik yang membahas apakah bahan silicon implan payudara dari
perusahaan tersebut aman bagi wanita. Menurut Harrison (dalam Kriyantono, 2012,
h. 151) isu adalah berbagai perkembangan dalam arena publik, yang jika
berlanjut, dapat secara signifikan memengaruhi operasional atau kepentingan
jangka panjang dari organisasi. Isu Dow Corning tersebut jika dikategorikan
menurut sumbernya maka termasuk isu eksternal, karena peristiwa yang berkembang
berasal dari luar organisasi. Dari jenisnya, termasuk dalam isu defensive,
karena isu yang muncul menimbulkan ancaman bagi organisasi, dan menurut
keluasannya, termasuk dalam isu selektif, yaitu isu yang hanya memengaruhi
kelompok tertentu, yang mana dalam kasus Dow Corning adalah kaum perempuan.
Isu yang tidak dikelola
akan berpotensi menjadi konflik. Benar saja isu tentang kesehatan dan keamanan
publik tersebut berubah menjadi krisis akibat tidak adanya klarifikasi dari Dow
Corning berkaitan dengan aman tidaknya bahan yang digunakan untuk implant
payudara tersebut. Krisis yang dialami oleh Dow Corning ini termasuk dalam
jenis krisis produk, karena krisis yang terjadi diakibatkan oleh kesalahan
produk, yakni produk dituduh mengandung zat berbahaya (Kriyantono, 2012, h.
178). Dow Corning dituduh bahwa silicon implant yang mereka produksi mengandung
zat yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang sangat serius bagi kaum
perempuan.
Pada tahun 1977, Dow
Corning dituntut secara hukum untuk pertama kalinya dengan tuduhan kasus silicon
implan rusak atau cacat. Fase tersebut masuk dalam tahapan pra krisis. Pada
tahap pra krisis, pihak perusahaan dimungkinkan telah mengetahui tanda-tanda
akan terjadinya krisis. Internal perusahaan Dow Corning sendiri sebenarnya
sadar bahwa masalah implant rusak yang diperkarakan secara hukum pada tahun
1977 tersebut dapat memicu krisis yang lebih parah di masa yang akan datang.
Namun pihak Dow Corning malah acuh dan tetap memproduksi silicon implant tidak
aman tersebut kepada publik.
Tahap pra krisis ini
mulai menjadi krisis akut ketika semakin banyak korban yang menuntut perusahaan
Dow Corning secara hukum dengan masalah yang sama. Menurut Kriyantono (2012, h.
179), krisis akut terjadi ketika situasi tidak dapat dimanajemen dengan baik
oleh organisasi sehingga situasi tersebut menyebar luar ke luar organisasi. Dow
Corning memang sempat berupaya untuk memanajemen krisis tersebut, namun cara
yang dilakukannya tidak tepat. Berikut adalah tahapan upaya manajemen krisis
oleh perusahaan Dow Corning.
Tahap 1
Pada tahap 1,
Juli-September 1991, Dow Corning membuat kesalahan fatal dalam upaya meredakan
krisis. Dalam tahap ini perusahaan seharusnya punya kontrol penuh untuk
memonitor persepsi publik. Namun, Dow Corning hanya bertumpu pada bukti ilmiah
hasil penelitian yang menyatakan bahwa bahan silicon implannya tidak
berhubungan dengan penyakit yang merusak auto imun. Hanya itu senjata mereka
dan tidak public statement lain yang
diberikan untuk meredam keresahan publik. Perusahaan Dow Corning juga tidak
terbuka dengan media, yang mana hal itu semakin menyulut krisis menjadi semakin
akut. Ketika perusahaan membuat
pernyataan, itu disampaikan oleh banyak spokesperson
sehingga informasi tidak terpusat menjadi satu dan malah memunculkan
kebingungan. Publik paling berpengaruh dari Dow Corning, yaitu media dan BPOM
tidak diberi kejelasan informasi oleh perusahaan tersebut, sehingga dua
institusi besar itulah yang menyebabkan reputasi Dow Corning merosot. Namun Dow
Corning mengalihkan perhatian publik dengan menyerang balik BPOM karena BPOM
tidak memiliki bukti dokumen internal perusahaan yang menyatakan bahwa ada
kerusakan/kecacatan silicon implant. Dengan membuat BPOM berusaha mendapatkan
dokumen internal, Dow Corning membuat pernyataan kuat bahwa sikap yang mereka
ambil mungkin hanya sedikit menolong image dari Dow Corning sendiri, namun
memiliki dampak yang signifikan dalam ketegangan hubungan antara Dow Corning
dengan BPOM. Perusahaan juga melakukan hal yang sama kepada media. Namun tidak
adanya keterbukaan informasi, dan tidak adanya spokesperson yang dapat
dijadikan sebagai sumber informasi membuat media memberitakan hal yang negative
terhadap perusahaan tersebut.
Tahap 2
Selama tahap 2, September
1991-Februari 1992, Dow Corning kembali menyerang BPOM dan menampik tuduhan
bahwa implant payudaranya tidak aman. Ketika BPOM meminta pertangguhan atas
kasus implant payudara tersebut, Dow Corning setuju untuk melakukan tes lebih
lanjut terhadap produknya untuk meyakinkan publik bahwa produknya aman. Beberapa
aksi lainnya dilakukan untuk mengembalikan image dari perusahaan tersebut.
Pertama, CEO Lawrence Reed digantikan oleh Keith McKennon. Reed dinilai tidak
cerdas dalam mengahadapi media dan malah menimbulkan masalah lain dengan BPOM
dan publik. McKennon dikenal sebagai veteran Dow Chemical yang pernah berhasil
mengatasi krisis “Agent Orange” pada tahun 1960-1970an. Salah satu upaya
McKennon adalah melibatkan pihak ketiga (Griffin Bell) untuk melakukan
investigasi mandiri masalah implant payudara silicon. Namun upaya tersebut
malah menjadi boomerang, karena menurut BPOM, penyelidikan yang dilakukan
memberikan informasi yang tidak benar. Dow Corning merespon BPOM dengan
menampik dan terus menyerang. Perusahaan mengklaim bahwa BPOM tidak mengerti
tujuan yang ingin dicapai dibalik penyelidikan tersebut.
Tahap 3
Tahap terakhir dari
krisis, Februari 1992-1999, adalah upaya perbaikan image yang dinilai sangat
baik. Dalam masa ini, Dow Corning bersedia untuk bertanggung jawab atas
beberapa kasus implant silicon dan melakukan aksi perbaikan. Perusahaan tidak
mengakui bahwa implant payudara tersebut tidak aman. Dokumen internal yang
mempertanyakan tentang keamanan silicon tersebut pun dirilis kepada publik dengan
maksud untuk mendapatkan kredibilitas lebih. Dokumen tetap diterima, namun
kegagalan perusahaan dalam menangani krisis di permulaan dulu tidak bisa
dilupakan.
Pasca krisis perusahaan
Dow Corning sangat menyedihkan. Berbagai upaya yang dilakukan telah gagal dan
menyeret Dow Corning dalam kebangkrutan dan terpaksa meninggalkan bisnis
implant tersebut. Krisis Dow Corning menjadi pelajaran penting bagi public
relations dalam menangani krisis. Di permulaan, perusahaan tersebut melupakan
manajemen krisis paling dasar, bahwa dalam pertarungan persepsi dan realitas,
persepsilah yang biasanya menang. Dengan menampik kesalahan, menyerang penuduh
dan rendahnya simpati terhadap korban, Dow Corning benar-benar telah melakukan
kesalahan yang serius terhadap reputasinya.
Manajemen krisis yang
baik seharusnya yaitu “on going” dan “continuous process” (Kriyantono, 2012, h.
181). Jadi, sebelum terjadi krisis, seharusnya PR harus melakukan manajemen isu
agar isu yang muncul tidak melebar menjadi krisis. Manajemen isu yang dilakukan
pun harus terus berkelanjutan agar tidak muncul kembali di masa mendatang.
Maka, PR harus selalu memonitor publiknya, sehingga dapat membuat sebuah
rencana antisipasi krisis.
Manajemen krisis yang
baik harus memperhatikan beberapa poin. Pertama, perlunya perencanaan krisis.
Hal ini berguna dalam mengantisipasi krisis yang sama muncul kembali, atau jika
sudah terjadi krisis, maka perusahaan memiliki pedoman atas apa yang harus
dilakukan untuk meredam krisis. Kedua, meletakkan prioritas utama pada keselamatan
dan kepentingan publik. Upaya mencari penyebab krisis dilakukan kemudian. Jadi,
dalam kasus Dow Corning tersebut seharusnya mereka tidak mengacuhkan korban
implant tersebut. mereka adalah konsumen yang harus diperhatikan kepuasannya,
karena jika tidak mereka bisa menumbangkan reputasi yang sudah dibangun oleh
perusahaan. Ketiga, mengupayakan satu suara melalui crisis center dengan satu
juru bicara, untuk ketercukupan informasi dan mencegah rumor. Apa yang
dilakukan oleh perusahaan Dow Corning tersebut kurang tepat, karena informasi
tidak terpusat pada satu orang yang mengakibatkan kebingungan informasi dan
malah dinilai tidak kredibel. Keempat, menjalin komunikasi dengan publik
terkait, mengajak kerjasama dan memberikan penghargaan atas perhatian
kooperaitf mereka. Namun yang dilakukan oleh Dow Corning jelas-jelas salah,
karena mereka tidak memberikan keterbukaan informasi dan malah menyerang balik
lembaga yang dapat meruntuhkan reputasinya dengan mudah, seperti media dan
BPOM. Kelima, hindari dahulu upaya menyalahkan pihak lain, apalagi menggunakan
jalur hukum. Upaya ini bertujuan agar reputasi perusahaan tidak jatuh jika
tuduhan yang diberikan kepada lawan tidak terbukti.
Sumber:
Kriyantono, R. (2012). Public
Relations & Crisis Management. Pendekatan Critical Public Relations
Etnografi Kritis & Kaulitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
LaPlant, K. (1999). The Dow Corning Crisis: A Benchmark,
page 32. Academic Research Library.
No comments:
Post a Comment