Friday, March 6, 2015

Analisis Manajemen Krisis Kasus The Dow Corning


Krisis yang dialami oleh perusahaan implan Dow Corning ini diawali dengan santernya isu kesehatan dan keamanan publik yang membahas apakah bahan silicon implan payudara dari perusahaan tersebut aman bagi wanita. Menurut Harrison (dalam Kriyantono, 2012, h. 151) isu adalah berbagai perkembangan dalam arena publik, yang jika berlanjut, dapat secara signifikan memengaruhi operasional atau kepentingan jangka panjang dari organisasi. Isu Dow Corning tersebut jika dikategorikan menurut sumbernya maka termasuk isu eksternal, karena peristiwa yang berkembang berasal dari luar organisasi. Dari jenisnya, termasuk dalam isu defensive, karena isu yang muncul menimbulkan ancaman bagi organisasi, dan menurut keluasannya, termasuk dalam isu selektif, yaitu isu yang hanya memengaruhi kelompok tertentu, yang mana dalam kasus Dow Corning adalah kaum perempuan.

Isu yang tidak dikelola akan berpotensi menjadi konflik. Benar saja isu tentang kesehatan dan keamanan publik tersebut berubah menjadi krisis akibat tidak adanya klarifikasi dari Dow Corning berkaitan dengan aman tidaknya bahan yang digunakan untuk implant payudara tersebut. Krisis yang dialami oleh Dow Corning ini termasuk dalam jenis krisis produk, karena krisis yang terjadi diakibatkan oleh kesalahan produk, yakni produk dituduh mengandung zat berbahaya (Kriyantono, 2012, h. 178). Dow Corning dituduh bahwa silicon implant yang mereka produksi mengandung zat yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang sangat serius bagi kaum perempuan.

Pada tahun 1977, Dow Corning dituntut secara hukum untuk pertama kalinya dengan tuduhan kasus silicon implan rusak atau cacat. Fase tersebut masuk dalam tahapan pra krisis. Pada tahap pra krisis, pihak perusahaan dimungkinkan telah mengetahui tanda-tanda akan terjadinya krisis. Internal perusahaan Dow Corning sendiri sebenarnya sadar bahwa masalah implant rusak yang diperkarakan secara hukum pada tahun 1977 tersebut dapat memicu krisis yang lebih parah di masa yang akan datang. Namun pihak Dow Corning malah acuh dan tetap memproduksi silicon implant tidak aman tersebut kepada publik.

Tahap pra krisis ini mulai menjadi krisis akut ketika semakin banyak korban yang menuntut perusahaan Dow Corning secara hukum dengan masalah yang sama. Menurut Kriyantono (2012, h. 179), krisis akut terjadi ketika situasi tidak dapat dimanajemen dengan baik oleh organisasi sehingga situasi tersebut menyebar luar ke luar organisasi. Dow Corning memang sempat berupaya untuk memanajemen krisis tersebut, namun cara yang dilakukannya tidak tepat. Berikut adalah tahapan upaya manajemen krisis oleh perusahaan Dow Corning.

Tahap 1
Pada tahap 1, Juli-September 1991, Dow Corning membuat kesalahan fatal dalam upaya meredakan krisis. Dalam tahap ini perusahaan seharusnya punya kontrol penuh untuk memonitor persepsi publik. Namun, Dow Corning hanya bertumpu pada bukti ilmiah hasil penelitian yang menyatakan bahwa bahan silicon implannya tidak berhubungan dengan penyakit yang merusak auto imun. Hanya itu senjata mereka dan tidak public statement lain yang diberikan untuk meredam keresahan publik. Perusahaan Dow Corning juga tidak terbuka dengan media, yang mana hal itu semakin menyulut krisis menjadi semakin akut.  Ketika perusahaan membuat pernyataan, itu disampaikan oleh banyak spokesperson sehingga informasi tidak terpusat menjadi satu dan malah memunculkan kebingungan. Publik paling berpengaruh dari Dow Corning, yaitu media dan BPOM tidak diberi kejelasan informasi oleh perusahaan tersebut, sehingga dua institusi besar itulah yang menyebabkan reputasi Dow Corning merosot. Namun Dow Corning mengalihkan perhatian publik dengan menyerang balik BPOM karena BPOM tidak memiliki bukti dokumen internal perusahaan yang menyatakan bahwa ada kerusakan/kecacatan silicon implant. Dengan membuat BPOM berusaha mendapatkan dokumen internal, Dow Corning membuat pernyataan kuat bahwa sikap yang mereka ambil mungkin hanya sedikit menolong image dari Dow Corning sendiri, namun memiliki dampak yang signifikan dalam ketegangan hubungan antara Dow Corning dengan BPOM. Perusahaan juga melakukan hal yang sama kepada media. Namun tidak adanya keterbukaan informasi, dan tidak adanya spokesperson yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi membuat media memberitakan hal yang negative terhadap perusahaan tersebut.

Tahap 2
Selama tahap 2, September 1991-Februari 1992, Dow Corning kembali menyerang BPOM dan menampik tuduhan bahwa implant payudaranya tidak aman. Ketika BPOM meminta pertangguhan atas kasus implant payudara tersebut, Dow Corning setuju untuk melakukan tes lebih lanjut terhadap produknya untuk meyakinkan publik bahwa produknya aman. Beberapa aksi lainnya dilakukan untuk mengembalikan image dari perusahaan tersebut. Pertama, CEO Lawrence Reed digantikan oleh Keith McKennon. Reed dinilai tidak cerdas dalam mengahadapi media dan malah menimbulkan masalah lain dengan BPOM dan publik. McKennon dikenal sebagai veteran Dow Chemical yang pernah berhasil mengatasi krisis “Agent Orange” pada tahun 1960-1970an. Salah satu upaya McKennon adalah melibatkan pihak ketiga (Griffin Bell) untuk melakukan investigasi mandiri masalah implant payudara silicon. Namun upaya tersebut malah menjadi boomerang, karena menurut BPOM, penyelidikan yang dilakukan memberikan informasi yang tidak benar. Dow Corning merespon BPOM dengan menampik dan terus menyerang. Perusahaan mengklaim bahwa BPOM tidak mengerti tujuan yang ingin dicapai dibalik penyelidikan tersebut.

Tahap 3
Tahap terakhir dari krisis, Februari 1992-1999, adalah upaya perbaikan image yang dinilai sangat baik. Dalam masa ini, Dow Corning bersedia untuk bertanggung jawab atas beberapa kasus implant silicon dan melakukan aksi perbaikan. Perusahaan tidak mengakui bahwa implant payudara tersebut tidak aman. Dokumen internal yang mempertanyakan tentang keamanan silicon tersebut pun dirilis kepada publik dengan maksud untuk mendapatkan kredibilitas lebih. Dokumen tetap diterima, namun kegagalan perusahaan dalam menangani krisis di permulaan dulu tidak bisa dilupakan.
Pasca krisis perusahaan Dow Corning sangat menyedihkan. Berbagai upaya yang dilakukan telah gagal dan menyeret Dow Corning dalam kebangkrutan dan terpaksa meninggalkan bisnis implant tersebut. Krisis Dow Corning menjadi pelajaran penting bagi public relations dalam menangani krisis. Di permulaan, perusahaan tersebut melupakan manajemen krisis paling dasar, bahwa dalam pertarungan persepsi dan realitas, persepsilah yang biasanya menang. Dengan menampik kesalahan, menyerang penuduh dan rendahnya simpati terhadap korban, Dow Corning benar-benar telah melakukan kesalahan yang serius terhadap reputasinya.

Manajemen krisis yang baik seharusnya yaitu “on going” dan “continuous process” (Kriyantono, 2012, h. 181). Jadi, sebelum terjadi krisis, seharusnya PR harus melakukan manajemen isu agar isu yang muncul tidak melebar menjadi krisis. Manajemen isu yang dilakukan pun harus terus berkelanjutan agar tidak muncul kembali di masa mendatang. Maka, PR harus selalu memonitor publiknya, sehingga dapat membuat sebuah rencana antisipasi krisis.

Manajemen krisis yang baik harus memperhatikan beberapa poin. Pertama, perlunya perencanaan krisis. Hal ini berguna dalam mengantisipasi krisis yang sama muncul kembali, atau jika sudah terjadi krisis, maka perusahaan memiliki pedoman atas apa yang harus dilakukan untuk meredam krisis. Kedua, meletakkan prioritas utama pada keselamatan dan kepentingan publik. Upaya mencari penyebab krisis dilakukan kemudian. Jadi, dalam kasus Dow Corning tersebut seharusnya mereka tidak mengacuhkan korban implant tersebut. mereka adalah konsumen yang harus diperhatikan kepuasannya, karena jika tidak mereka bisa menumbangkan reputasi yang sudah dibangun oleh perusahaan. Ketiga, mengupayakan satu suara melalui crisis center dengan satu juru bicara, untuk ketercukupan informasi dan mencegah rumor. Apa yang dilakukan oleh perusahaan Dow Corning tersebut kurang tepat, karena informasi tidak terpusat pada satu orang yang mengakibatkan kebingungan informasi dan malah dinilai tidak kredibel. Keempat, menjalin komunikasi dengan publik terkait, mengajak kerjasama dan memberikan penghargaan atas perhatian kooperaitf mereka. Namun yang dilakukan oleh Dow Corning jelas-jelas salah, karena mereka tidak memberikan keterbukaan informasi dan malah menyerang balik lembaga yang dapat meruntuhkan reputasinya dengan mudah, seperti media dan BPOM. Kelima, hindari dahulu upaya menyalahkan pihak lain, apalagi menggunakan jalur hukum. Upaya ini bertujuan agar reputasi perusahaan tidak jatuh jika tuduhan yang diberikan kepada lawan tidak terbukti.

Sumber:
Kriyantono, R. (2012). Public Relations & Crisis Management. Pendekatan Critical Public Relations Etnografi Kritis & Kaulitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
LaPlant, K. (1999). The Dow Corning Crisis: A Benchmark, page 32. Academic Research Library. 

No comments:

Post a Comment