Sunday, March 15, 2015

ANALISIS MANAJEMEN KRISIS KASUS ARLA YANG DIBOIKOT OLEH NEGARA-NEGARA TIMUR TENGAH


Arla merupakan sebuah perusahaan asal Denmark yang memproduksi makanan olahan dari susu. Perusahaan ini bernasib nahas karena mereka terkena krisis yang disebabkan oleh oknum lain di luar perusahaan mereka. Arla sama sekali tidak ikut campur dalam isu penggambaran Nabi Muhammad yang dibuat oleh sebuah kantor media Jyllands-Posten yang juga merupakan salah satu media independen di Denmark. Namun orang-orang Muslim, terutama orang-orang daerah Timur Tengah marah akan hal itu, dan mereka memboikot segala macam produk yang berasal dari Denmark.

Sebenarnya mengapa krisis Arla ini bisa terjadi adalah disebabkan oleh pihak lain, yakni media independen Denmark “Jyllands-Posten” yang menggambarkan Nabi Muhammad dalam bentuk kartun editorial dalam koran tersebut. Hal tersebut merupakan hinaan bagi kaum muslim. Oleh karena itu, mereka memboikot produk yang berasal dari negara (Denmark) yang telah menghina Nabi mereka tersebut. Kebetulan Arla juga merupakan pabrik besar produk olahan susu yang berasal dari Denmark. Arla yang sama sekali tidak ikut campur dalam kasus tersebut malah terkena dampak negatif yang dapat dikatakan cukup parah.

Krisis yang terjadi pada perusahaan Arla tersebut termasuk dalam krisis konfrontasi, karena adanya relasi yang buruk antara organisasi Jylland-Posten dengan publik Arab Saudi yang berimbas pada penjualan produk Arla. Menurut Kriyantono (2012, h. 177), krisis konfrontasi terjadi ketika publik mengekspresikan kemarahannya (public outrage) karena ketidakpuasan operasional organisasi sehari-hari. Kemarahan publik bukan terhadap Arla, namun kepada Jylland-Posten. Sebenarnya Jyllands-Posten pun tidak ada maksud untuk merusak reputasi Arla, namun Arla secara tidak sengaja menjadi korban dari konflik tersebut.

Jika digambarkan dalam issue life cycle, masalah ini didahului dengan tahap origin, yakni peristiwa tentang kemunculan kartun Nabi Muhammad dalam koran Denmark, Jyllands-Posten pada 30 September 2005. Masalah ini kemudian cepat menyebar menjadi imminent stage, karena masalah agama merupakan masalah yang sensitif dan dengan mudah menyulut kemarahan publik. Hingga ada penyerangan yang dilakukan oleh kaum muslim kepada kedutaan besar Norwegia dan Denmark.

Ketika berita semakin santer diberitakan melalui media, saat itu perwakilan kaum muslim ingin bertemu dengan perdana menteri Denmark berkaitan dengan masalah publikasi gambar Nabi Muhammad tersebut, namun pemerintah Denmark malah menolak untuk bertemu, dengan alasan percuma saja karena pihaknya tidak bisa mempengaruhi media tersebut. Peristiwa tersebut membuat tahap isu masuk dalam fase critical stage, karena adanya public outrage yang keadaan emosionalnya tidak stabil dan bisa meledak sewaktu-waktu.

Akhirnya Arab Saudi, sebagai pangsa pasar terbesar dari Arla Denmark, memutuskan untuk memboikot segala macam produk yang berasal dari Denmark. Hal ini pasti sangat merugikan bagi Arla, karena pangsa pasarnya adalah negara-negara Timur Tengah, sedangkan mereka tidak lagi mempercayai produk mereka.
Arla sempat merespon dengan tindakan Arab Saudi tersebut dengan membuat iklan yang memuat permohonan maaf mereka atas kesalahpahaman yang telah terjadi. Namun cara tersebut tidak membantu. Arab Saudi tetap memboikot produk mereka.

Menurut perhitungan Arla, boikot yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah tersebut hampir menyebabkan kerugian total pada perusahaannya. “Kami terkena dampak atas permainan yang tidak kami ikuti”, begitu kata Arla. Empat puluh tahun usaha membangun bisnis di Timur Tengah lenyap hanya dalam lima hari. Pada bulan Januari, dua karyawan Arla mendapat serangan dari kaum Muslim, dan pada bulan Februari, kerugian Arla diperkirakan mencapai 1 juta euro per hari.

Tahap resolution terjadi ketika Arla mulai bangkit dari krisis, yaitu pada bulan Maret pihaknya melakukan remarketing. Namun sebelumnya Arla pernah berupaya untuk meredam krisis tersebut yaitu dilakukan pada bulan Januari, dengan cara membuat iklan full-page yang mengatakan bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kasus karikatur Nabi Muhammad tersebut dan juga berisi tentang bagaimana pandangan Denmark terhadap Islam yang sesungguhnya. Namun upaya tersebut tidak terlalu membuahkan hasil, karena cara tersebut merupakan one only process (Kriyantono, 2012) yang dilakukan oleh Arla.

Upaya manajemen krisis yang hanya dilakukan satu kali saja tidak akan berdampak besar bagi perusahaan. Pada saat itu Arla tidak menggunakan cara lain. Seharusnya Arla bisa saja menunjuk satu orang spokesperson dan kemudian memberikan informasi mengenai kejelasan kasus, dan memberitahukan pada publik bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kasus karikatur Nabi Mudhammad tersebut, namun tentunya cara yang dilakukan harus dengan pendekatan yang disesuaikan dengan psikologi publik. Saya pikir cara tersebut akan lebih efektif karena sifatnya yang on going, maksudnya upaya manajemen krisis berlangsung terus-menerus, tidak hanya satu kali saja dilakukan (Kriyantono, 2012).

Akhirnya Arla melakukan cara on going atau continous process tersebut sejak bulan Maret. Pihak Arla melakukan upaya remarketing produknya dengan membuat full-page advertisement pada 25 koran Arab. Selain itu pihak Arla juga melakukan CSR dengan cara peduli dengan kegiatan kemanusiaan yang dilakukan di daerah sekitar. Upaya on going tersebut pada akhirnya dapat mengembalikan posisi Arla walaupun tidak seratus persen, karena Arab Saudi tetap kokoh pada pendiriannya untuk tidak lagi menggunakan produk dari negara yang telah menjelekkan Nabi mereka.

Krisis datang dengan cara yang tidak diduga-duga. Maka dari itu, perusahaan sebaiknya mempersiapkan program anti krisis sedari awal agar ketika krisis terjadi, perusahaan sudah memiliki pedoman untuk bertindak dan krisis dapat segera terredam agar tidak semakin menimbulkan public outrage. Karena kesuksesan perusahaan ada di tangan publik.

Referensi:
Kriyantono, R. (2012). Public relations & crisis management. Jakarta: Prenada.
Regester & Larkin. (2008). Case study-issues management: Arla product boycott in the Middle East.

No comments:

Post a Comment