Arla
merupakan sebuah perusahaan asal Denmark yang memproduksi makanan olahan dari
susu. Perusahaan ini bernasib nahas karena mereka terkena krisis yang
disebabkan oleh oknum lain di luar perusahaan mereka. Arla sama sekali tidak
ikut campur dalam isu penggambaran Nabi Muhammad yang dibuat oleh sebuah kantor
media Jyllands-Posten yang juga merupakan salah satu media independen di
Denmark. Namun orang-orang Muslim, terutama orang-orang daerah Timur Tengah
marah akan hal itu, dan mereka memboikot segala macam produk yang berasal dari
Denmark.
Sebenarnya
mengapa krisis Arla ini bisa terjadi adalah disebabkan oleh pihak lain, yakni media
independen Denmark “Jyllands-Posten” yang menggambarkan Nabi Muhammad dalam
bentuk kartun editorial dalam koran tersebut. Hal tersebut merupakan hinaan
bagi kaum muslim. Oleh karena itu, mereka memboikot produk yang berasal dari
negara (Denmark) yang telah menghina Nabi mereka tersebut. Kebetulan Arla juga
merupakan pabrik besar produk olahan susu yang berasal dari Denmark. Arla yang
sama sekali tidak ikut campur dalam kasus tersebut malah terkena dampak negatif
yang dapat dikatakan cukup parah.
Krisis
yang terjadi pada perusahaan Arla tersebut termasuk dalam krisis konfrontasi,
karena adanya relasi yang buruk antara organisasi Jylland-Posten dengan publik
Arab Saudi yang berimbas pada penjualan produk Arla. Menurut Kriyantono (2012,
h. 177), krisis konfrontasi terjadi ketika publik mengekspresikan kemarahannya
(public outrage) karena ketidakpuasan
operasional organisasi sehari-hari. Kemarahan publik bukan terhadap Arla, namun
kepada Jylland-Posten. Sebenarnya Jyllands-Posten pun tidak ada maksud untuk
merusak reputasi Arla, namun Arla secara tidak sengaja menjadi korban dari
konflik tersebut.
Jika
digambarkan dalam issue life cycle,
masalah ini didahului dengan tahap origin,
yakni peristiwa tentang kemunculan kartun Nabi Muhammad dalam koran Denmark,
Jyllands-Posten pada 30 September 2005. Masalah ini kemudian cepat menyebar
menjadi imminent stage, karena
masalah agama merupakan masalah yang sensitif dan dengan mudah menyulut
kemarahan publik. Hingga ada penyerangan yang dilakukan oleh kaum muslim kepada
kedutaan besar Norwegia dan Denmark.
Ketika
berita semakin santer diberitakan melalui media, saat itu perwakilan kaum
muslim ingin bertemu dengan perdana menteri Denmark berkaitan dengan masalah
publikasi gambar Nabi Muhammad tersebut, namun pemerintah Denmark malah menolak
untuk bertemu, dengan alasan percuma saja karena pihaknya tidak bisa
mempengaruhi media tersebut. Peristiwa tersebut membuat tahap isu masuk dalam
fase critical stage, karena adanya public outrage yang keadaan emosionalnya
tidak stabil dan bisa meledak sewaktu-waktu.
Akhirnya
Arab Saudi, sebagai pangsa pasar terbesar dari Arla Denmark, memutuskan untuk
memboikot segala macam produk yang berasal dari Denmark. Hal ini pasti sangat
merugikan bagi Arla, karena pangsa pasarnya adalah negara-negara Timur Tengah,
sedangkan mereka tidak lagi mempercayai produk mereka.
Arla
sempat merespon dengan tindakan Arab Saudi tersebut dengan membuat iklan yang
memuat permohonan maaf mereka atas kesalahpahaman yang telah terjadi. Namun
cara tersebut tidak membantu. Arab Saudi tetap memboikot produk mereka.
Menurut
perhitungan Arla, boikot yang dilakukan oleh negara-negara Timur Tengah
tersebut hampir menyebabkan kerugian total pada perusahaannya. “Kami terkena
dampak atas permainan yang tidak kami ikuti”, begitu kata Arla. Empat puluh
tahun usaha membangun bisnis di Timur Tengah lenyap hanya dalam lima hari. Pada
bulan Januari, dua karyawan Arla mendapat serangan dari kaum Muslim, dan pada
bulan Februari, kerugian Arla diperkirakan mencapai 1 juta euro per hari.
Tahap
resolution terjadi ketika Arla mulai
bangkit dari krisis, yaitu pada bulan Maret pihaknya melakukan remarketing. Namun sebelumnya Arla
pernah berupaya untuk meredam krisis tersebut yaitu dilakukan pada bulan
Januari, dengan cara membuat iklan full-page
yang mengatakan bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kasus karikatur
Nabi Muhammad tersebut dan juga berisi tentang bagaimana pandangan Denmark
terhadap Islam yang sesungguhnya. Namun upaya tersebut tidak terlalu membuahkan
hasil, karena cara tersebut merupakan one
only process (Kriyantono, 2012) yang dilakukan oleh Arla.
Upaya
manajemen krisis yang hanya dilakukan satu kali saja tidak akan berdampak besar
bagi perusahaan. Pada saat itu Arla tidak menggunakan cara lain. Seharusnya
Arla bisa saja menunjuk satu orang spokesperson
dan kemudian memberikan informasi mengenai kejelasan kasus, dan memberitahukan
pada publik bahwa mereka tidak ada sangkut pautnya dengan kasus karikatur Nabi
Mudhammad tersebut, namun tentunya cara yang dilakukan harus dengan pendekatan
yang disesuaikan dengan psikologi publik. Saya pikir cara tersebut akan lebih
efektif karena sifatnya yang on going,
maksudnya upaya manajemen krisis berlangsung terus-menerus, tidak hanya satu
kali saja dilakukan (Kriyantono, 2012).
Akhirnya
Arla melakukan cara on going atau continous process tersebut sejak bulan
Maret. Pihak Arla melakukan upaya remarketing
produknya dengan membuat full-page
advertisement pada 25 koran Arab. Selain itu pihak Arla juga melakukan CSR
dengan cara peduli dengan kegiatan kemanusiaan yang dilakukan di daerah
sekitar. Upaya on going tersebut pada
akhirnya dapat mengembalikan posisi Arla walaupun tidak seratus persen, karena
Arab Saudi tetap kokoh pada pendiriannya untuk tidak lagi menggunakan produk
dari negara yang telah menjelekkan Nabi mereka.
Krisis
datang dengan cara yang tidak diduga-duga. Maka dari itu, perusahaan sebaiknya
mempersiapkan program anti krisis sedari awal agar ketika krisis terjadi,
perusahaan sudah memiliki pedoman untuk bertindak dan krisis dapat segera
terredam agar tidak semakin menimbulkan public
outrage. Karena kesuksesan perusahaan ada di tangan publik.
Referensi:
Kriyantono, R.
(2012). Public relations & crisis
management. Jakarta: Prenada.
Regester &
Larkin. (2008). Case study-issues
management: Arla product boycott in the Middle East.
No comments:
Post a Comment