Berbicara
mengenai isu, dalam hati kita pasti berpikir bagaimana isu tersebut bisa
muncul? Faktor apa yang mempengaruhi kemunculan isu. Ternyata isu bisa muncul
karna pengaruh publik. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Effect licensed by
the society”, maksud dari kalimat tersebut adalah publik memiliki “kemampuan”
untuk memberikan lisensi atas kesuksesan suatu perusahaan. Konsep “reputasi”
yang dibangun oleh suatu perusahaan dapat diartikan bahwa perusahaan tersebut memiliki
“legitimasi”. Metzler & Culbertson, Jeffers, Stone, and Terrell (dalam
Kriyantono 2012, h. 215) menyatakan bahwa legitimasi merupakan hak organisasi
atau perusahaan untuk eksis/hadir di tengah-tengah publik. Legitimasi tersebut
harus diakui oleh publik dan berkembang dalam dua aspek, yakni karakter dan kompetensi organisasi (Veil, dalam
Kriyantono, 2012, h. 215).
Jika sebuah perusahaan menjalankan operasionalnya
secara efektif, itu disebut kompeten. Sedangkan karakter didapatkan jika publik
merasa bahwa perusahaan tersebut memiliki program yang peduli dengan komunitas
sosial (CSR). Maka dari itu, persepsi publik sangat penting dalam menunjang
kompeten sebuah perusahaan, dan kompeten tersebut merupakan aspek dari model
krisis reputasi yang menentukan tingkat reputasi perusahaan. Untuk mendapatkan
reputasi positif, perusahaan harus memberikan kepuasan terhadap ekspektasi
publik.
Untuk mendapatkan lisensi dari publik, maka
PR harus mampu berpikir secara outside-in thinking, yaitu memadukan
masukan dari luar dengan cara berpikir diri sendiri. Menerapkan outside-in
thinking bukan perkara mudah, karena PR harus mencari tahu terlebih dahulu
seperti apa keinginan publik terhadap perusahaan, monitoring persepsi publik
terhadap perusahaan. Memadukan opini dari luar dengan cara berpikir pribadi pun
membutuhkan waktu, karena PR harus mengkonstruksi kembali pikirannya. Apa yang
sebelumnya dianggap benar oleh PR belum tentu akan sesuai dengan keinginan
publik. Maka dari itu, PR harus menciptakan suatu jalan yang menguntungkan bagi
kedua belah pihak, yakni perusahaan dan publik.
Jika perusahaan
tidak mendapatkan lisensi dari publik, maka operasional dari perusahaan
tersebut dianggap kurang baik dan mungkin gagal. Kegagalan tersebut dapat
memunculkan isu. Isu muncul karena ada gap atau jurang pemisah. Nah, gap
tersebut muncul karena ada perbedaan atau tidak ada sinkronisasi antara harapan
publik dengan kebijakan atau operasional perusahaan. Ketika gap semakin lebar,
disitulah isu muncul. Jika isu tersebut terus berlanjut, maka akan mempengaruhi
operasional perusahaan di masa depan. Maka dari itu manajemen isu sangat
penting dilakukan untuk mengurangi atau mendekatkan gap tersebut. Jika tidak
akan berpotensi menimbulkan krisis (Kriyantono, 2012, h. 152).
Tahap
isu (issue life cycle) ada 5
(Kriyantono, 2012, h. 159-161), yang pertama yakni tahap origin (potential stage), pada tahap ini,
seseorang atau kelompok mengekspresikan perhatiannya pada isu dan memberikan
opini. Dalam kasus Dow Corning yang lalu, tahap ini adalah ketika muncul isu
bahwa silikon tersebut berbahaya bagi kesehatan wanita. Pada tahap ini, isu
dapat berkembang jika tidak segera diatasi. Tahap ini adalah tahap yang paling
menentukan apakah isu dimanajemen dengan baik atau tidak.
Tahap
kedua yakni mediation dan amplification (imminent stage/emerging).
Pada tahap ini isu mulai berkembang karena ada kelompok yang saling mendukung
dan memberi perhatian pada isu tersebut. Tahap ini ditandai dengan tuntutan
hukum seorang wanita terhadap pihak Dow Coning karena implan payudaranya cacat
dan menimbulkan masalah kesehatan. Pada tahap ini isu mulai berkembang karena
tidak ada penangan dari isu sebelumnya, dan Dow Corning malah tetap melanjutkan
produksi implan tanpa diadakan tes untuk mengecek apakah benar implan tersebut
berbahaya.
Tahap
ketiga, yaitu tahap organization (current
stage) Pada tahap ini publik mulai membentuk jaringan dan mengorganisasikan
diri. Dilihat dari bersatunya kaum wanita untuk menuntut Dow Corning karena
masalah yang sama. Akhirnya krisi pun berlanjut pada tahap keempat, yakni tahap
critical stage. Tahap ini merupakan
masa kritis dari sebuah perusahaan, ini ditandai dengan semakin memburuknya
keadaan karena ribuan wanita menuntut Dow Corning. Media dan BPOM juga
menyerang Dow Corning untuk mengulik lebih dalam perihal isu tersebut.
Akhirnya
krisis tersebut mencapai tahap terakhir yaitu tahap resolusi (dormant stage) ketika mereka memutuskan
untuk melakukan uji terhadap produk. Namun strategi manajemen krisis yang
mereka lakukan salah karena Dow Corning hanya mengandalkan bukti uji lab dan
tidak ada public statement lain untuk meredakan krisis. Mereka juga tidak
memberikan keterbukaan informasi kepada media dan BPOM padahal mereka adalah
publik yang sangat penting diperhatikan karena pengaruh mereka besar. Dow
Corning terlambat menerapkan manajemen krisis yang benar. Sehingga pada
akhirnya mereka menyatakan diri bangkrut dalam bisnis implan tersebut.
Referensi:
LaPlant, K. (1999). The Dow Corning crisis: A benchmark. Public
Relations Quarterly; Summer 1999; 44, 2; Academic Research
Library, pg. 32-33.
Kriyantono, R.
(2012). Measuring a company
reputation in a crisis situation: an ethnography approach on the situational
crisis communication theory. International
Journal of Business and Social Science. Vol.(3) 9, h. 214—223.
____________ .
(2012). Public relations and crisis
management. Jakarta: Prenada.
No comments:
Post a Comment