Pada
bulan September 1982, salah satu produk dari Johnson & Johnson, yaitu
Tylenol, telah menewaskan sebanyak tujuh korban di daerah Chicago. Tylenol yang
menewaskan 7 korban tersebut ternyata telah terkontaminasi dengan sianida.
Johnson & Johnson tidak mengetahui darimana sianida tersebut berasal,
apakah dari orang dalam sendiri atau ada pihak luar yang iri kemudian melakukan
sabotase dengan cara demikian. Kasus Tylenol ini yang jelas menjadi hantaman
keras bagi perusahaan Johnson & Johnson, karena Tylenol ini telah merajai
pasar obat analgesic sebanyak 35%, terhitung penjualan per tahun mencapai 450
juta USD, dan memberikan 15% profit dari keseluruhan produk Johnson &
Johnson.
Krisis
Tylenol ini bisa jadi termasuk dalam dua jenis krisis, yaitu krisis produk dan
krisis malevolence. Saya mengkategorikan kasus ini sebagai krisis malevolence
karena krisis ini disebabkan oleh adanya seseorang yang mempunyai keinginan
untuk menjatuhkan atau membahayakan organisasi (Kriyantono, 2012), dengan cara
menyabotase produk Tylenol yang dicampur dengan sianida. Saya juga
mengkategorikan kasus ini dalam krisis produk karena diakibatkan oleh adanya
kesalahan produk (Kriyantono, 2012), yakni produk Tylenol yang terkontaminasi
sianida sehingga menewaskan 7 korban.
Kasus
Tylenol ini termasuk kasus yang tidak ada tanda-tanda awalnya. Krisis terjadi
begitu saja tanpa peringatan, tanpa muncul isu atau prodomal. Dengan demikian,
issue lifecycle dari kasus ini langsung merujuk pada tahap current stage, yakni
ditandai dengan diberitakannya 3 korban tewas di daerah Chicago setelah
mengonsumsi Tylenol terkontaminasi tersebut. Kemudian krisis ini melebar
menjadi tahap critical stage setelah disiarkannya berita ke seluruh penjuru
Amerika Serikat. Dari situ publik jadi berspekulasi bahwa 250 kematian dan
penyakit yang tersebar di berbagai bagian Amerika Serikat diakibatkan oleh
Tylenol yang terkontaminasi juga. Total kematian karena Tylenol ini berjumlah 7
orang, semuanya di daerah Chicago.
Mendengar
hal tersebut, pimpinan dari Johnson & Johnson bertindak cepat dengan segera
menarik seluruh produk Tylenol yang berjumlah hingga 8 juta tablet tersebut
dari pasar di seluruh toko yang tersebar di Amerika Serikat. Setelah dilakukan
uji laboratorium, ternyata dari sekian banyak tablet yang ditarik tersebut,
hanya 75 tablet yang terkontaminasi sianida. Bayangkan saja berapa kerugian
yang dialami oleh Johnson & Johnson. Namun, hal tersebut dikesampingkan
karena bagi Johnson & Johnson, keselamatan public dan pelanggan adalah
nomer satu.
Menurut
saya, Johnson & Johnson sudah menerapkan prinsip worst case possible
scenario atau penanganan atas kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hal ini
dibuktikan oleh adanya credo yang dimiliki oleh perusahaan Johnson &
Johnson, yang isinya memprioritaskan keselamatan dan kepentingan public,
kemudian baru pekerja mereka, komunitas, dan stockholder. Mereka melakukan hal
tersebut agar tidak ada lagi korban yang tewas akibat Tylenol yang
terkontaminasi tersebut.
Perusahaan
sempat kehilangan sedikit waktu saat sedang menarik berjuta-juta botol
extra-strength Tylenol, sehingga ada beberapa produk yang sudah
didistribusikan. Johnson & Johnson kemudian menghabiskan setengah juga USD
untuk membuat peringatan kepada para dokter, rumah sakit, dan distributor atas
kemungkinan bahaya obat terkontaminasi. Sebesar itulah dedikasi Johnson &
Johnson demi keselamatan pengguna. Upaya seperti inilah yang benar dan harusnya
diterapkan oleh PR berbagai perusahaan jika mengalami krisis yang sama. Seperti
yang juga diungkapkan oleh Kriyantono (2012, h. 185), prioritaskan keselamatan
dan kepentingan public. Penyebab krisis bisa dilakukan kemudian atau secara
bersamaan.
Perusahaan
juga menolak untuk meluncurkan kembali produk yang sama walaupun sudah
diketahui bahwa obat tersebut aman dan pelaku yang melakukan kejahatan sudah
berhasil ditangkap. Johnson & Johnson memutuskan untuk meluncurkan produk
baru dengan kemasan anti rusak dengan memanfaatkan gerakan pemerintah AS
bersama FDA yang mencanangkan program peningkatan keamanan obat-obatan. Biaya
yang dikeluarkan perusahaan sangat besar untuk launching produk baru tersebut.
Namun respon public terhadap produk tersebut positif, sehingga dalam lima bulan
bisa mengembalikan 70% dari sepertiga saham dalam pasar besar tersebut.
Peristiwa tersebut menjadi tanda masuknya perusahaan pada tahap dormant stage
atau pasca krisis.
Johnson
& Johnson termasuk perusahaan yang berhasil selamat menghadapi krisis
terberat bagi semua perusahaan. Terbukti bahwa mereka mendapatkan Silver Anvil Award
dari Public Relations Society Amerika atas keberhasilannya menghandle krisis
tersebut. Kembalinya keadaan perusahaan Johnson & Johnson menjadi jaya
kembali adalah karena keputusannya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk.
Jika saja dulu mereka tidak menarik produk dari pasar, dan tetap memasarkan
produk mungkin akhirnya tidak akan seperti sekarang, bahkan mungkin mereka akan
bangkrut. Mereka akan lebih susah untuk bangkit karena tidak dipercaya oleh
public.
Pada
mulanya perusahaan Johnson & Johnson tidak memiliki rencana komunikasi
krisis, hanya sedikit perusahaan yang memiliki anti-crisis plan pada masa itu.
Namun langkah yang dilakukan oleh pihak Johnson & Johnson sudah tepat.
Seperti yang diungkapkan oleh Kriyantono (2012, h. 184), dalam menghadapi
krisis tersebut upaya yang dilakukan oleh Johnson & Johnson adalah (a) segera
membentuk tim khusus yang terdiri dari tujuh pimpinan tertinggi perusahaan
termasuk Presiden PR. Tim ini menjadi suara perusahaan dan mempunyai satu juru
bicara. (b) menerapkan komunikasi yang akurat dan terbuka. (c) menarik semua
produk dari pasaran, memberhentikan produksi dan distribusi. (d) melakukan
survey untuk mengetes kebenaran keracunan produk. (e) berkomunikasi dengan
pihak terkait seperti pemerintah, LSM, BPOM, dan media. (f) meluncurkan produk
baru yakni Tylenol Geleaps yang memiliki antiracun (tamper proof).
Sumber:
Kriyantono, R. (2012). Public Relations & Crisis Management. Jakarta: Prenada.
Regester, M. & Larkin, J. (2008). Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. London & Philadelphia: Kogan Page.
No comments:
Post a Comment