Sunday, March 22, 2015

ANALISIS MANAJEMEN KRISIS KASUS TYLENOL JOHNSON & JOHNSON


Pada bulan September 1982, salah satu produk dari Johnson & Johnson, yaitu Tylenol, telah menewaskan sebanyak tujuh korban di daerah Chicago. Tylenol yang menewaskan 7 korban tersebut ternyata telah terkontaminasi dengan sianida. Johnson & Johnson tidak mengetahui darimana sianida tersebut berasal, apakah dari orang dalam sendiri atau ada pihak luar yang iri kemudian melakukan sabotase dengan cara demikian. Kasus Tylenol ini yang jelas menjadi hantaman keras bagi perusahaan Johnson & Johnson, karena Tylenol ini telah merajai pasar obat analgesic sebanyak 35%, terhitung penjualan per tahun mencapai 450 juta USD, dan memberikan 15% profit dari keseluruhan produk Johnson & Johnson.

Krisis Tylenol ini bisa jadi termasuk dalam dua jenis krisis, yaitu krisis produk dan krisis malevolence. Saya mengkategorikan kasus ini sebagai krisis malevolence karena krisis ini disebabkan oleh adanya seseorang yang mempunyai keinginan untuk menjatuhkan atau membahayakan organisasi (Kriyantono, 2012), dengan cara menyabotase produk Tylenol yang dicampur dengan sianida. Saya juga mengkategorikan kasus ini dalam krisis produk karena diakibatkan oleh adanya kesalahan produk (Kriyantono, 2012), yakni produk Tylenol yang terkontaminasi sianida sehingga menewaskan 7 korban.

Kasus Tylenol ini termasuk kasus yang tidak ada tanda-tanda awalnya. Krisis terjadi begitu saja tanpa peringatan, tanpa muncul isu atau prodomal. Dengan demikian, issue lifecycle dari kasus ini langsung merujuk pada tahap current stage, yakni ditandai dengan diberitakannya 3 korban tewas di daerah Chicago setelah mengonsumsi Tylenol terkontaminasi tersebut. Kemudian krisis ini melebar menjadi tahap critical stage setelah disiarkannya berita ke seluruh penjuru Amerika Serikat. Dari situ publik jadi berspekulasi bahwa 250 kematian dan penyakit yang tersebar di berbagai bagian Amerika Serikat diakibatkan oleh Tylenol yang terkontaminasi juga. Total kematian karena Tylenol ini berjumlah 7 orang, semuanya di daerah Chicago.

Mendengar hal tersebut, pimpinan dari Johnson & Johnson bertindak cepat dengan segera menarik seluruh produk Tylenol yang berjumlah hingga 8 juta tablet tersebut dari pasar di seluruh toko yang tersebar di Amerika Serikat. Setelah dilakukan uji laboratorium, ternyata dari sekian banyak tablet yang ditarik tersebut, hanya 75 tablet yang terkontaminasi sianida. Bayangkan saja berapa kerugian yang dialami oleh Johnson & Johnson. Namun, hal tersebut dikesampingkan karena bagi Johnson & Johnson, keselamatan public dan pelanggan adalah nomer satu.

Menurut saya, Johnson & Johnson sudah menerapkan prinsip worst case possible scenario atau penanganan atas kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Hal ini dibuktikan oleh adanya credo yang dimiliki oleh perusahaan Johnson & Johnson, yang isinya memprioritaskan keselamatan dan kepentingan public, kemudian baru pekerja mereka, komunitas, dan stockholder. Mereka melakukan hal tersebut agar tidak ada lagi korban yang tewas akibat Tylenol yang terkontaminasi tersebut.

Perusahaan sempat kehilangan sedikit waktu saat sedang menarik berjuta-juta botol extra-strength Tylenol, sehingga ada beberapa produk yang sudah didistribusikan. Johnson & Johnson kemudian menghabiskan setengah juga USD untuk membuat peringatan kepada para dokter, rumah sakit, dan distributor atas kemungkinan bahaya obat terkontaminasi. Sebesar itulah dedikasi Johnson & Johnson demi keselamatan pengguna. Upaya seperti inilah yang benar dan harusnya diterapkan oleh PR berbagai perusahaan jika mengalami krisis yang sama. Seperti yang juga diungkapkan oleh Kriyantono (2012, h. 185), prioritaskan keselamatan dan kepentingan public. Penyebab krisis bisa dilakukan kemudian atau secara bersamaan.

Perusahaan juga menolak untuk meluncurkan kembali produk yang sama walaupun sudah diketahui bahwa obat tersebut aman dan pelaku yang melakukan kejahatan sudah berhasil ditangkap. Johnson & Johnson memutuskan untuk meluncurkan produk baru dengan kemasan anti rusak dengan memanfaatkan gerakan pemerintah AS bersama FDA yang mencanangkan program peningkatan keamanan obat-obatan. Biaya yang dikeluarkan perusahaan sangat besar untuk launching produk baru tersebut. Namun respon public terhadap produk tersebut positif, sehingga dalam lima bulan bisa mengembalikan 70% dari sepertiga saham dalam pasar besar tersebut. Peristiwa tersebut menjadi tanda masuknya perusahaan pada tahap dormant stage atau pasca krisis.

Johnson & Johnson termasuk perusahaan yang berhasil selamat menghadapi krisis terberat bagi semua perusahaan. Terbukti bahwa mereka mendapatkan Silver Anvil Award dari Public Relations Society Amerika atas keberhasilannya menghandle krisis tersebut. Kembalinya keadaan perusahaan Johnson & Johnson menjadi jaya kembali adalah karena keputusannya untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk. Jika saja dulu mereka tidak menarik produk dari pasar, dan tetap memasarkan produk mungkin akhirnya tidak akan seperti sekarang, bahkan mungkin mereka akan bangkrut. Mereka akan lebih susah untuk bangkit karena tidak dipercaya oleh public.

Pada mulanya perusahaan Johnson & Johnson tidak memiliki rencana komunikasi krisis, hanya sedikit perusahaan yang memiliki anti-crisis plan pada masa itu. Namun langkah yang dilakukan oleh pihak Johnson & Johnson sudah tepat. Seperti yang diungkapkan oleh Kriyantono (2012, h. 184), dalam menghadapi krisis tersebut upaya yang dilakukan oleh Johnson & Johnson adalah (a) segera membentuk tim khusus yang terdiri dari tujuh pimpinan tertinggi perusahaan termasuk Presiden PR. Tim ini menjadi suara perusahaan dan mempunyai satu juru bicara. (b) menerapkan komunikasi yang akurat dan terbuka. (c) menarik semua produk dari pasaran, memberhentikan produksi dan distribusi. (d) melakukan survey untuk mengetes kebenaran keracunan produk. (e) berkomunikasi dengan pihak terkait seperti pemerintah, LSM, BPOM, dan media. (f) meluncurkan produk baru yakni Tylenol Geleaps yang memiliki antiracun (tamper proof).

Sumber:
Kriyantono, R. (2012). Public Relations & Crisis Management. Jakarta: Prenada.
Regester, M. & Larkin, J. (2008). Risk Issues and Crisis Management in Public Relations. London & Philadelphia: Kogan Page.


No comments :

Post a Comment