Sunday, March 8, 2015

WHY ISSUE POPS UP?

Berbicara mengenai isu, dalam hati kita pasti berpikir bagaimana isu tersebut bisa muncul? Faktor apa yang mempengaruhi kemunculan isu. Ternyata isu bisa muncul karna pengaruh publik. Ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Effect licensed by the society”, maksud dari kalimat tersebut adalah publik memiliki “kemampuan” untuk memberikan lisensi atas kesuksesan suatu perusahaan. Konsep “reputasi” yang dibangun oleh suatu perusahaan dapat diartikan bahwa perusahaan tersebut memiliki “legitimasi”. Metzler & Culbertson, Jeffers, Stone, and Terrell (dalam Kriyantono 2012, h. 215) menyatakan bahwa legitimasi merupakan hak organisasi atau perusahaan untuk eksis/hadir di tengah-tengah publik. Legitimasi tersebut harus diakui oleh publik dan berkembang dalam dua aspek, yakni  karakter dan kompetensi organisasi (Veil, dalam Kriyantono, 2012, h. 215). 

Jika sebuah perusahaan menjalankan operasionalnya secara efektif, itu disebut kompeten. Sedangkan karakter didapatkan jika publik merasa bahwa perusahaan tersebut memiliki program yang peduli dengan komunitas sosial (CSR). Maka dari itu, persepsi publik sangat penting dalam menunjang kompeten sebuah perusahaan, dan kompeten tersebut merupakan aspek dari model krisis reputasi yang menentukan tingkat reputasi perusahaan. Untuk mendapatkan reputasi positif, perusahaan harus memberikan kepuasan terhadap ekspektasi publik.

Untuk mendapatkan lisensi dari publik, maka PR harus mampu berpikir secara outside-in thinking, yaitu memadukan masukan dari luar dengan cara berpikir diri sendiri. Menerapkan outside-in thinking bukan perkara mudah, karena PR harus mencari tahu terlebih dahulu seperti apa keinginan publik terhadap perusahaan, monitoring persepsi publik terhadap perusahaan. Memadukan opini dari luar dengan cara berpikir pribadi pun membutuhkan waktu, karena PR harus mengkonstruksi kembali pikirannya. Apa yang sebelumnya dianggap benar oleh PR belum tentu akan sesuai dengan keinginan publik. Maka dari itu, PR harus menciptakan suatu jalan yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, yakni perusahaan dan publik.

Jika perusahaan tidak mendapatkan lisensi dari publik, maka operasional dari perusahaan tersebut dianggap kurang baik dan mungkin gagal. Kegagalan tersebut dapat memunculkan isu. Isu muncul karena ada gap atau jurang pemisah. Nah, gap tersebut muncul karena ada perbedaan atau tidak ada sinkronisasi antara harapan publik dengan kebijakan atau operasional perusahaan. Ketika gap semakin lebar, disitulah isu muncul. Jika isu tersebut terus berlanjut, maka akan mempengaruhi operasional perusahaan di masa depan. Maka dari itu manajemen isu sangat penting dilakukan untuk mengurangi atau mendekatkan gap tersebut. Jika tidak akan berpotensi menimbulkan krisis (Kriyantono, 2012, h. 152).

Tahap isu (issue life cycle) ada 5 (Kriyantono, 2012, h. 159-161), yang pertama yakni tahap origin (potential stage), pada tahap ini, seseorang atau kelompok mengekspresikan perhatiannya pada isu dan memberikan opini. Dalam kasus Dow Corning yang lalu, tahap ini adalah ketika muncul isu bahwa silikon tersebut berbahaya bagi kesehatan wanita. Pada tahap ini, isu dapat berkembang jika tidak segera diatasi. Tahap ini adalah tahap yang paling menentukan apakah isu dimanajemen dengan baik atau tidak.

Tahap kedua yakni mediation dan amplification (imminent stage/emerging). Pada tahap ini isu mulai berkembang karena ada kelompok yang saling mendukung dan memberi perhatian pada isu tersebut. Tahap ini ditandai dengan tuntutan hukum seorang wanita terhadap pihak Dow Coning karena implan payudaranya cacat dan menimbulkan masalah kesehatan. Pada tahap ini isu mulai berkembang karena tidak ada penangan dari isu sebelumnya, dan Dow Corning malah tetap melanjutkan produksi implan tanpa diadakan tes untuk mengecek apakah benar implan tersebut berbahaya.

Tahap ketiga, yaitu tahap organization (current stage) Pada tahap ini publik mulai membentuk jaringan dan mengorganisasikan diri. Dilihat dari bersatunya kaum wanita untuk menuntut Dow Corning karena masalah yang sama. Akhirnya krisi pun berlanjut pada tahap keempat, yakni tahap critical stage. Tahap ini merupakan masa kritis dari sebuah perusahaan, ini ditandai dengan semakin memburuknya keadaan karena ribuan wanita menuntut Dow Corning. Media dan BPOM juga menyerang Dow Corning untuk mengulik lebih dalam perihal isu tersebut.

Akhirnya krisis tersebut mencapai tahap terakhir yaitu tahap resolusi (dormant stage) ketika mereka memutuskan untuk melakukan uji terhadap produk. Namun strategi manajemen krisis yang mereka lakukan salah karena Dow Corning hanya mengandalkan bukti uji lab dan tidak ada public statement lain untuk meredakan krisis. Mereka juga tidak memberikan keterbukaan informasi kepada media dan BPOM padahal mereka adalah publik yang sangat penting diperhatikan karena pengaruh mereka besar. Dow Corning terlambat menerapkan manajemen krisis yang benar. Sehingga pada akhirnya mereka menyatakan diri bangkrut dalam bisnis implan tersebut.

Referensi:
LaPlant, K. (1999). The Dow Corning crisis: A benchmark. Public Relations Quarterly;       Summer 1999; 44, 2; Academic Research Library, pg. 32-33.
Kriyantono, R. (2012). Measuring a company reputation in a crisis situation: an ethnography approach on the situational crisis communication theory. International Journal of Business and Social Science. Vol.(3) 9, h. 214—223.
____________ . (2012). Public relations and crisis management. Jakarta: Prenada.

No comments :

Post a Comment